Secara pribadi-perorangan, sungguh saya meminta maaf kepada Indonesia, saya belum banyak berbuat apa yang benar-benar berguna untuk Indonesia yang genap berusia 72 tahun ini. Jelas tidak perlu dibandingkan dengan pebulutangkis, atau juara tingkat dunia, yang bisa secara perorangan mengharumkan nama Indonesia.
Saya pun tidak bisa mengaku-aku (mengklaim) secara pribadi-perorangan bahwa apa yang telah saya perbuat merupakan sesuatu yang sangat berguna untuk Indonesia. Misalnya, dulu atau hingga kini, ikut pawai, upacara bendera, baris-berbaris, aktif dalam kepanitian, dan seterusnya dalam rangka peringatan dan perayaan Hari Ulang Tahun Kemerdekaan Indonesia. Semua itu merupakan suatu kerja tim, bukanlah perorangan (individual) alias peran mutlak "seseorang".
Kalaupun saya secara pribadi boleh sedikit berbangga diri untuk Indonesia, ya, mungkin tidaklah seberapa luar biasa bagi orang-orang yang telah berbuat banyak untuk kemajuan dan kibaran nama Indonesia. Misalnya, satu artikel saya mengenai arsitektur kolonial yang kemudian objeknya termonumentasi menjadi museum di Bangka Barat, dan mendapat apresiasi (berupa ucapan) dari Ketua Umum Ikatan Arsitek Indonesia Ahmad Djuhara. Sedikit bangga saja karena keputusan menjadi wujud monumental merupakan kewenangan pihak terkait.
Misal lainnya, artikel-artikel mengenai HAKI, sastra di Kalimantan Timur, dan lain-lain. Atau, mungkin, karya sastra yang saya buat dengan ketekunan mengangkat lokalitas sekaligus ketat dalam tata bahasa Indonesia. Kesemuanya, saya sadari, hanyalah "sedikit berbangga diri". Barangkali semua itu bersifat semu bagi khalayak Indonesia.
Saya selalu berusaha menyadari diri saya dalam lingkup realitas Indonesia yang sedang merayakan Ulang Tahun ke-72 ini, bahkan pasti kesadaran paling hakiki secara pribadi untuk ulang tahun selanjutnya. Sesekali saya membaca lagi buku "Manusia Indonesia"-nya Mochtar Lubis (2001. Jakarta : Yayasan Obor Indonesia) dari naskah pidatonya di Taman Ismail Marzuki, Jakarta, pada 6 April 1977.
Dalam Kata Pengantar buku itu Jacob Oetama menulis, "Dalam isi buku, dapatlah disumpulkan yang dimaksudkan oleh Mochtar Lubis sebagai menusia Indonesia, manusia Indonesia seperti yang distereotipkan." Ada enam sifat disebut dan dipaparkan, yaitu 1. Munafik atau hipokrit; 2. Enggan dan segan bertanggung jawab atas perbuatannya; 3. Bersikap dan berperilaku feodal; 4. Percaya takhyul; 5. Artistik, berbakat seni; 6. Lemah watak atau karakternya.
Buku itu sungguh cukup menjadi bagian dalam penyadaran diri saya sendiri. Dengan kesadaran diri tingkat mikro-internal pribadi, saya bisa melihat dinamika Indonesia secara mawas diri. Secara mawas diri yang bagaimana?
Begini misalnya. Dalam hal mengkritisi situasi sosial-politik. Sebagai mantan aktivis pers mahasisa, kepekaan sosial berlandaskan kecerdasan sosial menjadi salah satu modal penting dalam upaya mengkritisi situasi dan perjalanan hidup Indonesia, baik skala lokal-regional maupun nasional. Apa yang disampaikan oleh pelbagai media tidaklah patut saya serta-mertakan sebagai suatu kebenaran mutlak (harga mati). Pemvonisan atau penghakiman bisa terjadi, bahkan justru memalukan-memilukan diri sendiri, apabila saya tidak memberi peluang kepada kemungkinan yang terbaik pada suatu situasi selanjutnya.
Misalnya lagi, keaktifan saya dalam kegiatan sosial, baik di sekitar rumah (RT), profesi (pergaulan sesama arsitek), dan hobi (pergaulan dengan para seniman), selalu saya kelola dengan perenungan dan kesadaran sebagai individu dan makhluk sosial dalam tatanan pergaulan Indonesia. Saya memang memilih untuk tidak terlibat dalam politik praktis (simpatisan ataupun kader suatu partai) tetapi belum tentu orang lain memilih sikap seperti saya. Â
Satu-satunya pertanyaan dalam pergumulan saya setelah "menyendiri", apakah saya benar-benar sudah berbuat hal-hal yang berguna bagi semua kegiatan sosial itu. Jangan sampai saya "hanya merasa", justru orang lain yang benar-benar sudah berbuat apa-apa yang berguna bagi semua.
Tidak sedikit orang terdekat saya menyarankan, jangan terlalu sering memaksa diri menjadi sempurna (perfeksionis) dan ideal (idealis). Sebab, alasan mereka, belum tentu saya sendiri sudah sempurna dan ideal dalam berpikir-bersikap, baik sendiri maupun bersama orang lain. Begitu pula dalam hidup bersama sebagai warga RT, penduduk Kaltim, dan warga negara, yang masih menyisakan satu hal lagi untuk benar-benar saya pahami dan hayati, yaitu kompromi. Kompromi, kata mereka, adalah memberi peluang kepada kemungkinan, bahkan pembelajaran bagi diri sendiri pula.
Saran tersebut secara nyata saya wujudkan ketika sering menjadi bagian dalam kepanitiaan 17 Agustusan di wilayah RT kami, termasuk mengurusi pengelolaan anggaran. Setiap rupiah yang masuk dan keluar harus saya kelola dan catat. Tidak lupa, semua nota belanja saya kumpulkan, dan lampirkan secara lengkap dalam laporan pertanggungjawaban yang bisa dibaca atau dievaluasi oleh warga atau ketua RT selanjutnya. Saya harus berkompromi ketika ada satu-dua warga yang mengkritisi isi laporan itu karena ada kemungkinan justru saya sendiri yang teledor atau kurang teliti. Â
Saran juga berlaku dalam kegiatan bersama di RT kami yang berlatar aneka SARA itu. Setiap anggota memiliki kelebihan-kekurangan, termasuk diri saya, yang belum tentu telah berbuat hal-hal yang sempurna-ideal bagi sesama anggota. Bukanlah kesempurnaan-idealisme saya yang utama, melainkan kebersamaan mewujudkan hingga menyukseskan kegiatan itu.
Kalaupun saya "merasa" sempurna, atau menurut beberapa rekan saya telah berbuat "sempurna-ideal", justru bisa "batal" apabila saya tergelincir dalam "penghakiman" terhadap rekan lainnya. Atau juga ketika menyaksikan situasi perayaan 17 Agustusan, saya masih berpeluang dalam "ketergelinciran" yang cenderung "menggugurkan" nilai-nilai yang semula saya anggap diri saya "sempurna-ideal".
Ya, saya selalu mengikutkan kata "kompromi" untuk suatu proses, baik proses menjadi diri sendiri maupun menjadi warga negara Indonesia secara bersama. Dalam proses tidaklah semuanya sempurna-ideal, apalagi ketika berada dalam kebersamaan. Kekurangan, keteledoran, kecerobohan, perbaikan, dan seterusnya menjadi bagian penting dalam kata "kompromi".
Demikian pula untuk lingkup luas bernama Indonesia. Keaktifan saya dalam kegiatan RT, mungkin, Â sudah bagus sebagai wujud kesadaran makhluk sosial yang tetap "membumi" dalam suatu wilayah di Negara Kesatuan Republik Indonesia. Ya, mungkin. Mungkin ini versi saya pribadi, yang sama sekali tidak mendapat rekomendasi apalagi apresiasi dari ketua RT kami.
Oleh sebab itu, seperti yang tertulis pada awal tadi, dan sekali lagi, sungguh saya meminta maaf kepada Indonesia, saya belum banyak berbuat apa yang benar-benar berguna untuk Indonesia yang genap berusia 72 tahun ini. Saya akan terus berusaha berbuat apa pun semampu saya sekaligus berguna untuk Indonesia.
Dan, dengan kesadaran diri sepenuhnya saya mengucapkan selamat sekaligus salut kepada setiap warga negara Indonesia yang telah terbukti mampu mewujudkan perbuatan apa pun yang berguna bagi Indonesia raya. Saya pun selalu optimis untuk kemajuan Indonesia yang dikelola oleh orang-orang yang masih beritikad baik dalam visi bersama berlandaskan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945.
Selamat Ulang Tahun ke-72, Indonesia kita tercinta!
*******
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H