Masih gelap ketika saya terjaga. Saya duduk di ranjang dengan kedua kaki selonjor. Sesekali mengulet untuk sedikit menyegarkan badan. Sesekali menggaruk-garuk bagian bokong.
Hari masih gelap, untuk apa bangun, pikir saya.
Memang masih gelap. Gelap ini mungkin karena saya belum benar-benar sadar. Masih gelap tapi udara sudah gerah. Mungkin mendung telah membendung angin, dan menekan suhu panas hingga merangsek ke kamar.
Ah, mending tidur lagi, pikir saya sambil merebah kembali.
Bagi saya, tidur lelap merupakan satu-satunya kemerdekaan sejati yang saya miliki. Sebab, ketika saya melihat--apa, siapa, segala situasi, mendadak saya kehilangan kemerdekaan sejati. Serta-merta pikiran saya bertempur dengan segala dugaan dan kemungkinan. Panas kepala saya. Tak pelak, rambut di jidat saya berguguran, dan jidat akhirnya tandus.
Makanya saya memilih situasi gelap sebagai dukungan untuk keputusan saya melelapkan diri. Saya mengambil posisi tidur meyamping kanan. Bantal agak saya tinggikan agar pundak kanan tidak terlalu memikul beban.
Saya ingin tidur lagi. Saya ingin lelap lagi. Saya ingin mimpi lagi. Saya berhitung dari satu sampai seratus untuk melelahkan pikiran, dan mengundang kantuk. Bila belum juga datang kantuk, saya akan meneruskan dari seratus sampai seribu.
Sayup-sayup kicauan burung dekat kamar. Sayup-sayup kendaraan melintas. Sayup-sayup bising anak-anak--entah sedang bermain apa. Gelap masih memenuhi setiap bidang pandang.
Kicauan burung?
Pikiran saya terhenti dalam hitungan ke-62. Rencana melelahkan pikiran mulai kacau gara-gara kicauan itu, ditambah bisingnya anak-anak sedang bermain.
Sialan, maki saya. Hari masih gelap, burung sudah berkicau, anak-anak sudah bermain.