Mohon tunggu...
Gus Noy
Gus Noy Mohon Tunggu... Administrasi - Penganggur

Warga Balikpapan, Kaltim sejak 2009, asalnya Kampung Sri Pemandang Atas, Sungailiat, Bangka, Babel, dan belasan tahun tinggal di Yogyakarta (Pengok/Langensari, dan Babarsari).

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Tjiptadinata Effendi Masih Konsisten sebagai Kompasianer Produktif Mei 2017

7 Juni 2017   12:09 Diperbarui: 9 Juni 2017   19:22 591
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Keempat, selalu menghargai orang-orang di sekitarnya, yang beraneka SARA dan bangsa-negara. Orang-orang, tanpa disadari oleh mereka sendiri, merupakan bahan atau inspirasi untuk artikel. “Karena persahabatan adalah hubungan batin, antara dua orang yang terjalin dalam waktu yang cukup panjang,” tulis Pak Tjip dalam Putus Hubungan  (29 Mei). “Sekali saja kita menghianati orang lain, maka seumur hidup orang tidak lagi akan percaya kepada kita,” tulisnya dalam Jangan Sampai Orang Menyesal, Telah Mempercayai Kita (23 Mei).

Kelima, selalu menghargai pilihan (jalan) hidup orang lain, yang paling jelas adalah agama. “Masing-masing orang memiliki hak untuk memilih jalan hidupnya,” tulisnya dalam Putus Hubungan (29 Mei). Atau artikel Believe It or Not: Damai dalam Perbedaan (5 Mei).

Keenam, selalu menghargai tempat sebagaimana filosofi daerah asal Pak Tjip (Padang), “Di mana bumi dipijak, di situ langit dijunjung”. Lagi-lagi saya mencuplik Claudius, “Setiap tempat adalah sekolah.” Beberapa contohnya, Dunia Ini adalah Kasino Terbesar dan Terlengkap (11 Mei), Di Australia Memelihara Hewan Bukan Berarti Memiliki (15 Mei), Di Australia, Harga Buku Bekas Hanya Seribu Rupiah (17 Mei), Berumah di Tepi Pantai, tapi Nasib Berbeda Bagaikan Siang dan Malam (19 Mei), dan lain-lain.

Ketujuh, sering introspeksi, tidak gegabah menyalahkan (“menghakimi”) orang lain atau situasi, dan merefleksikannya menjadi tulisan (artikel) yang inspiratif. Memang, dalam usia yang terbilang kawak, Pak Tjip tidak saja sekadar memberi petuah atau wejangan, melainkan juga tetap berusaha proporsional bahwa Pak Tjip manusia yang memiliki kekurangan.  

Demikianlah tujuh pelajaran saja yang baru bisa saya dapatkan. Saya percaya, masih banyak pelajaran yang bisa saya dapatkan seandainya saya mau menyempatkan waktu lebih panjang dan membaca lebih mendalam lagi. Ya, lagi-lagi, persoalan saya adalah waktu dan “prioritas” jika harus benar-benar mengkaji 68 artikel Pak Tjip. Juga, saya bukanlah seorang pembaca yang tekun, apalagi produktif dalam tulis-menulis (sepatutnya saya malu, sih).

Saya percaya bahwa Sidang Pembaca yang budiman bisa lebih banyak lagi mendapatkan pembelajaran sekaligus manfaat dari artikel-artikel peraih Kompasiana of The Year 2014 ini. Sidang Pembaca bisa menambahkannya sendiri, entah dengan artikel maupun sebatas komentar di bawah artikel sederhana saya ini.

*******

Panggung Renung Balikpapan, 7 Juni 2017

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun