Nama Tjiptadinata Effendi, atau saya biasa menyebutkan “Pak Tjip” seperti yang ditulisnya “yang manggil saya :"Pak Tjip" hanya di Kompasiana” dalam Kapan Seseorang Pantas Disebut "Sudah Bau Tanah?(20 Mei), tertera dalam Inilah 7 Kompasianer Paling Aktif di Kompasiana Bulan Mei Ini yang dirilis oleh Kompasiana News pada 06 Juni 2017. Posisi Pak Tjip di urutan ke-7 alias juru kunci. Sementara lainnya, urutan ke-6, 5, 4, 3, 2, dan 1, bisa dilihat di sana.
Dalam 5 bulan sejak 2017, Pak Tjip memang produktif, selalu masuk kategori 7 Kompasianer Paling Aktif (dan Produktif, tentunya). Berikut ini posisi Pak Tjip selama 5 bulan
1. Mei --- Peringkat ke-7 --- 68 artikel.
2. April --- Peringkat ke-2 --- 73 artikel.
3. Maret --- Peringkat ke-5 --- 81 artikel.
4. Februari --- Peringkat ke-1 --- 79 artikel.
5. Januari --- Peringkat ke-1 --- 69 artikel.
Kalau pada Januari Pak Tjip memuncaki klasemen bahkan pada bulan berikutnya (Februari), mengapa Mei merosot ke posisi juru kunci? Bukankah jumlah produknya berbeda tipis; 69 artikel dan 68 artikel?
Maaf, saya tidak bisa menjawab karena memerlukan kajian yang lebih mendalam, termasuk mengenai kegiatan Pak Tjip hingga bagaimana pula para pesaingnya. Hanya untuk Mei pun perlu kajian yang mendalam, begitu?
Kalau mau serius, ya, memang begitu. Naik-turun atau puncak-lembah harus dikaji dengan banyak variable, dan, ah… Ngeri. Dalam tulisan ini saya tidak berani memasuki laboratorium dan forum para ahli.
Kembali ke Pak Tjip, dan sedikit saja yang bisa saya sampaikan. Pria, yang belum lama ini memeringati Hari Lahir ke-74 tahun (21 Mei 1943), menghasilkan 68 artikel atau rata-rata menghasilkan 2-3 artikel per hari pada Mei. 2 artikel mendapat predikat “Headline”. 62 artikel mendapat predikat “Pilihan”.
Jujur, sebenarnya saya tertarik untuk mengamati setiap artikel Pak Tjip, dari cerita pengalaman hidup, esai-opini mengenai suatu berita, kabar dari Australia, atau kiat-kiat menjalani hidup sesuai dengan situasi tertentu. Persoalan saya adalah waktu dan “prioritas” jika harus benar-benar mengkaji 68 artikel Pak Tjip.
Akan tetapi, paling tidak, dari produktivitas Pak Tjip melalui artikel-artikelnya, saya ingin mendapat pelajaran khusus, sebagaimana kata Claudius, “Semua orang adalah guru”. Meski tidak bisa berpanjang-lebar-tinggi, pelajaran tersebut adalah sebagai berikut:
Pertama, selalu mendayagunakan pikiran sebagai ucapan syukur atas kesehatan, dan segala yang dialami. “Hidup adalah sebuah karunia Tuhan,maka syukurilah hidup itu,” tulis Pak tjip dalam Perlunya Membangun Pikiran Positif dalam Diri (18 Mei). Di sini tentu saja pikiran yang terkelola secara sehat bersama emosi yang matang, dan Pak Tjip memang telah menempuh banyak perjalanan sehingga artikel-artikelnya tetap konsisten dengan kesejukan, dan memotivasi Pembaca (baca: saya; Gus Noy).
Kedua, selalu menghargai hikmah atas apa yang dialami ataupun sekadar tanggapan terhadap suatu peristiwa. Ini masih dalam ranah bersyukur, yaitu bersyukur atas apa yang didapat, lalu menyampaikannya kembali dengan bahasanya sendiri. Tidak ada yang sia-sia (mubazir) jika berpikir positif dan mampu menangkap hikmahnya, dan diingatkannya, “Dalam hidup keseharian ada begitu banyak kesempatan yang entah sadar ataupun tidak kita biarkan berlalu begitu saja.” (Memanfaatkan Kesempatan Secara Positif, 2 Mei).
Ketiga, selalu menghargai waktu. Bukan hanya waktu untuk menulis–sesuatu yang personal-individual sekali, melainkan pula waktu untuk bersosialisasi dan berkontempelasi sehingga bisa mendapatkan bahan (inspirasi) untuk dituliskan. Dan, selagi (mumpung) sehat, alangkah baiknya jika dimanfaatkan untuk menuliskannya.