…Sepakbola di Kepalaku, tak berjendela, berpintu lewat seke-sekte hari dan kencang! Spasi! Galeri Zombie..
PETIKAN dialog di atas merupakan salah satu adegan pada pertunjukan Pertunjukan ‘Potret Diri’ yang dibawakan Komunitas Kaleng Merah Jambu di gedung B Ilmu Budaya Unsoed, Senin (7/4) malam. Pertunjukan itu, menjadi luapan ekspresi sosok manusiayang secara sengaja disuguhkan dalam dimensi pertunjukan yang absurd.
Pada pertunjukan itu, ada dua tokoh anonim yang bermain dan mengucapkan dialog secara lugas seperti kanak-kanak. Dua tokoh anonim itu menggambarkan sisi diri manusia, menceritakan dengan gaya tutur yang lugas, bahkan meluapkan kata-kata seperti puzzle yang patah-patah, dan menyatukannya menjadi kalimat, hingga berkumpul menjadi dialog.
Pertunjukan yang dihelat selama hampir satu jam itu, memang membawakan naskah lakon yang cukup berat. Namun, bagi penonton yang mampu memahami, ratusan kata bak Puzzle itu dapat dirangkai dalam pikiran, dan dapat disimpulkan sebagai ragam peristiwa, maupun persoalan yang terjadi dalam masyarakat, khususnya menyangkut diri seorang manusia itu.
Yosea Arga, salah satu sosok digambarkan terus-menerus merangkai kaleng berwarna merah jambu. Dalam prangkaiannya itu, masalah selalu menerpa, semakin tinggi kaleng disusun, semakin mudah bangunan kaleng itu ambruk.
“Itulah upaya manusia yang terkadang tak disadari, bahwa ambisi yang tinggi terhadap benda-benda cenderung akan mudah tumbang, dan terus berotasi hingga mencapai titik yang diinginkan,” jelas Sutradara, Febrian Adinata Hasibuan.
Sementara Gaman, sosok anonim satunya menyadarkan Yosea bahwa kenyataan manusia yang bekerja hanya merangkai, menumpuk, bahkan rakus terhadap harta-benda, akan mudah mencapai kehancuran, meski bekerja terus-menerus tanpa menyerah, namun akan kembali pada titik semula yakni Nol.
Pribadi sosok manusia yang digambarkan melalui dua aktor di atas, adalah sosok tunggal, atau jamak. Bahkan menurut Esais Abdul Aziz Rasjid yang mempelajari karakter naskah tersebut, sosok pada nashak itu memang digambarkan melalui kompleksitas bahasa dan gerak tubuh. “Tentang Ihwal riwayat, satu sisi menyangkut batas-batas kenyataan, dan sisi lainnya berkenaan dengan batas-batas khayalan,” ujar Aziz.
Meski sang Sutradara, Aan tak serta merta mau menjelaskan apa isi pikiran naskah tersebut, namun dia hanya menginginkan siappun manusia, mengenali dirinya. Luapan yang dipentaskan, kata Aan, adalah intisari dari serapan hidup pribadinya selama hidup. “Dari peristiwa-peristiwa di rumah, keluarga, dan lainnya, akhirnya muncul kata-kata yang bisa mewakili ekspresi manusia,” ujar Aan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H