[caption id="attachment_281339" align="alignright" width="300" caption="Ilustrasi/Admin (Tribun Kaltim/Junisah)"][/caption] Delapan tahun malang melintang di (rimba) Kalimantan, sebenarnya saya tidak begitu kaget dengan adanya berita kekerasan yang akhirnya menyerempet ke ranah SARA. Yang membuat saya kaget adalah pemberitaan media massa yang sangat bombastis dan dramatis. Seolah-olah semua orang diarahkan untuk berimajinasi dengan kekerasan berbau SARA di masa lalu yang sebenarnya juga banyak dibumbui imajinasi. Kumpulan-kumpulan imajinasi bagaikan sinyal-sinyal negatif yang dikirim oleh orang se-Indonesia sehingga menambah panas suasana. Bukan berarti saya mengecilkan masalah yang terjadi, tetapi harus ada yang mendinginkan suasana ketika terjadi pertikaian. Sinyal-sinyal damailah yang seharusnya kita kirim saat terjadi konflik. Lima belas tahun yang lalu. Dari jendela pesawat Simpati air, sebelum mendarat saya lihat beberapa sapi berlari-lari kecil di area bandara. Sebagian sapi lainnya tampak masih tenang-tenang menikmati rumput bandara Juata. Rupanya mereka sudah tidak asing dengan deru pesawat. Yang membuat saya heran, sapi iru tidak berwarna putih seperti sapi-sapi dikampung saya. Sapi itu berwarna oren muda dan kurus-kurus. Hampir semua sapi di kampung saya berwarna putih, gemuk, dan bersih. Enam tahun, rasanya hampir semua titik di Pulau Tarakan sudah saya jelajahi. Bagaimana tidak? Pulau Tarakan sangat kecil, pusat keramaian dimulai dari pelabuhan di ujung jalan Yos Sudarso kemudian berbelok ke jalan Sudirman. Begitu kecil memang, bahkan traficlight baru ada di tahun keenam saya tinggal di sana. Terlalu banyak kenangan yang bisa saya ceritakan, hanya beberapa yang bisa saya bagikan. Kota Tarakan yang besarnya satu pulau itu adalah kota yang sangat terbuka dan sangat dinamis. Hampir semua suku bangsa ada. Hampir setiap hari saya ngomong jowo. Telingga tidak asing dengan Bahasa Banjar (lingua francanya Kalimantan), juga bahasa lainnya seperti Bugis, Makassar, Toraja, Madura, China, Timor dan tentu saja Tidung. Sehingga kita sering mendengar Tarakan diucapkan "Tarakang" dengan logat Sulawesi atau "Taraan" dengan logat Jowo. Bahkan sampai saat ini saya terkadang masih muncul logat Tarakannya seperti "itu na" - "iya kah?" - " jangan gitu bahhh." Suku (Dayak) Tidung adalah masyarakat yang mendiami Pulau Tarakan pada awalnya. Kaik Layung adalah tetua Tidung yang saya kenal lewat cucu perempuannya, Maryani. Namanya memang seperti orang jawa, tapi sosoknya sebagaimana gadis dayak Kaltim lainnya sangat tidak jawa karena cenderung berkulit kuning bersih bukan sawo matang. Maryani juga sangat dekat dengan istri saya. Datok Norbek adalah bangsawan Tidung tertinggi yang saya kenal, lewat keponakannya yang pernah lama mempelajari informatika di jogja. Pengalaman yang tidak akan saya lupakan adalah ketika saya ikut mendubbing video. Karena tidak punya ruangan yang kedap suara, sedangkan rumahnya di dekat pasar, maka dubbing dilakukan tengah malam setelah suasana sepi. Dan di tengah malam itu tiba-tiba hujan deras. Rumah di Tarakan rata-rata menggunakan atap seng, bayangkan bagaimna gaduhnya suara yang dihasilkannya. Tidung adalah kerajaan yang menguasai Pulau Tarakan di masa lalu, sebelum minyak di temukan oleh Bataavishe Petroleum Maatchapij tahun 1896. Temuan minyak menjadikan Tarakan sebagai salah satu masuknya tenaga kerja dari seluruh penjuru nusantara bahkan dunia. Tarakan merupakan pertemuan arus muara sungai Kayan, Sesayap dan Malinau dari pedalaman Kalimantan. Pada jaman dahulu Tarakan sudah menjadi tempat pertemuan dan peristirahatan beberapa nelayan di Kalimantan Utara. Selain bertemu untuk barter para nelayan juga beristirahat dan makan. Karena dikenal sebagai tempat bertemu dan makan maka dinamakan TARAKAN, yang berasal dari bahasa Tidung "Tarak" (bertemu) dan "Ngakan" (makan). Warung Kopi Aseng. Tarakan memang pulau kecil dengan penghuni yang sangat heterogen. Di dekat Juata saya pernah melihat sebuah pura dibangun sangat megah, sama megahnya dengan gereja dan masjid. Tapi tempat paling populer tempat semua orang bertemu saya rasa ada sebuah warung kopi di Lingkas, Jalan Yos Sudarso yaitu Warung Kopi Aseng. Dari sopir angkot (yang di Tarakan disebut sebagai teksi) sampai pegawai, setiap pagi ada di situ. Kopi dan roti bakar warung kopi Aseng memang mempunyai cita rasa tersendiri. Saya pernah menyakan rahasianya, ternyata kopi yang disajikan itu asli Kalimantan dan mengorengnya dipisahkan berdasarkan besarnya bijih kopi sehingga matangnya seragam. Bijih kopi yang utuh dan yang pecah juga dipisahkan saat mengorengnya. Pemiliknya seorang Tionghoa berbadan sangat besar tapi sangat ramah. Juga sangat lincah saat main badminton, A Tin. Tarakan memang kota transit yang dinamis. Keadaan itu juga dilambangkan dengan gambar pintu gerbang dalam logo Kota Tarakan. Tetapi sebagai kota yang dinamis memang berpotensi untuk timbulnya konflik-konflik antar kelompok. Seperti yang sedang dialami Tarakan saat itu. Tapi kami yakin hal ini segera berlalu. Pemerintah dan para tetua kelompok yang berhadapan sudah duduk bersama, dan menyatakan apa yang terjadi sebagai tindak pidana murni. Seperti tindak pidana yang terjadi di tempat lain pada umumnya. Mudah-mudahan masalah ini segera dapat terselesaikan dengan damai, kemudian Tarakan kembali bergerak dinamis lagi. Tarakan adalah kota yang terbuka dan dinamis sejak berdirinya, jadi saya yakin dan berdo'a mudah-mudahan masalah ini cepat selesai. Bagi kita yang pernah hidup di Tarakan tentu merasakan rasa kebersamaan hidup dalam perbedaan itu. Sebagaimana tulisan dalam bahsa Tidung dalam lambang Kota Tarakan "PAGUNTAKA" yang bermakna Kampung Kita, darimanapun kita berasal, tapi Tarakan adalah Kampung Kita. Do'a kami untukmu, TARAK-NGAKAN.
Bandung, 04 Oktober 2010
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H