Mohon tunggu...
Mas Agus Firmansyah
Mas Agus Firmansyah Mohon Tunggu... Dosen - Pencari Suaka Akhirat

Staf Pengajar Jurusan Ilmu Komunikasi FISIP Universitas Bengkulu. Entahlah suatu saat nanti, namun yang pasti personifikasi air mengalir menjadi filosofi sebagai bentuk berserah diri pada ketetapan Ilahi.

Selanjutnya

Tutup

Money Artikel Utama

Meredefinisi Bencana menjadi Berkah

18 April 2015   00:31 Diperbarui: 17 Juni 2015   07:58 71
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Cobalah sesekali untuk membayangkan dan berandai-andai, apa yang akan terjadi dengan planet bumi tanpa kehadiran manusia. Akankah bumi menghentikan putarannya? Akankah fenomena alam seperti banjir bandang, badai atau angin puting beliung yang disebabkan kosmogenik (bersumber dari alam) dapat dikatakan sebagai bencana atau musibah?

Kemudian alihkan perhatian sejenak pada ranah sosial, akankah ada peradabaan, sistem pemerintahan, sistem manajemen dan lain sebagainya? Atau melalui pertanyaan berikut ini; tanpa manusia, akankah ada teknologi, inovasi, definisi konsep, beserta segala sesuatu yang bertalian dengan bahasa dan makna sebagai “jembatan” untuk menghubungkan dan mengetahui bagaimana semua fenomena alam itu dapat dijelaskan? Lalu kemudian, apa yang terjadi berikutnya, ketika ada manusia yang menempati dan berdiam dalam suatu wilayah ruang planet bernama bumi itu?

Walaupun sesuatu yang mungkin terdengar mustahil, namun pengandaian diatas, sekurangnya dapat kita jadikan pijakan awal untuk membuat semacam analogi mengenai bagaimana makna bencana itu dikonstruksi manusia. Minimal, analogi tersebut dapat dijadikan pembelajaran dalam usaha melakukan “rekonstruksi” terhadap relasi makna yang terjalin antara ruang teritori di belahan planet bumi yang tergolong ekstrim, dengan keberadaan sekelompok manusia yang mendiaminya.

Belajar Pada Belanda

Tidak seperti hewan maupun tumbuhan, kehadiran manusia di planet bumi memiliki konsekuensi yang sangat kompleks. Kekompleksitasan tersebut dikarenakan manusia memiliki kelengkapan alat indera yang jauh lebih sempurna dibandingkan hewan maupun tumbuhan. Manusia memiliki alat indera, karsa, cipta, rasa, sertasikap, dimana melalui itu semua, Ia berusaha untuk mengeksplorasi, memaknai dan mencari tahu jawaban bagaimana planet yang bernama bumi beserta fenomena alam didalamnya itu bekerja.

Salah satu contoh bagaimana relasi makna yang terjalin antara sekelompok manusia yang mendiami sebagian ruang planet bumi dengan kondisi geografis yang tergolong “ekstrim” ini, misalnya seperti ditunjukan oleh mereka yang berada di Netherland atau Belanda.

Pertanyaan yang diajukan kemudian, mengapa belajar pada Belanda? Jawabannya sederhana, namun memerlukan penjelasan yang relatif cukup komprehensif. Salah satu alasanya, karena masyarakat Belanda berhasil mengubah relasi makna bencana menjadi berkah pada wajah lanskap geografis negaranya.

Menurut catatan Kementerian Infrastruktur dan Lingkungan Belanda, disebutkan bahwa pada akhir abad es (ice age) atau sekitar 10.000 S.M, wilayah sekitar laut utara (North Sea) pada awalnya adalah daratan dengan lanskap dataran rendah yang sangat luas. Seiring dengan naiknya temperatur udara dan mencairnya glacier pegunungan es, maka air laut pun kemudian mengenangi dataran rendah tersebut, sehingga terbentuklah formasi daratan Netherlands / Belanda yang kita kenal seperti sekarang ini (Kementerian Lingkungan dan Infrastruktur Belanda, 2011)

Gambar 1. Kenaikan Air Laut yang Membentuk Formasi Netherlands.Sumber: Water Management in the Netherlands, Rijkswaterstaat Ministry of Infrastructure and the Environment (2011:9)

Kondisi geografis Belanda memang agak kurang menguntungkan, karena berada tepat di wilayah teritori dimana air laut berpotensi untuk mengenangi wilayah daratan mereka. Sebagaimana dikutip dari Wikipedia yang menyebutkan bahwa;

“Belanda secara geografis merupakan negara berpermukaan rendah, dengan kira-kira 20% wilayahnya, dan 21% populasinya berada di bawah permukaan laut, dan 50% tanahnya kurang dari satu meter di atas permukaan laut.

(Sumber: http://id.wikipedia.org/wiki/Belanda)

Oleh karena itu, dapat dikatakan hampir sebagian besar lanskap geografis Belanda sangatlah landai. Kelandaian formasi lahan tersebut menyebabkan beberapa bagian wilayah daratannya terpaksa harus berada pada titik satu meter dibawah permukaan laut. Permasalahan turunan dari kondisi tersebut adalah besarnya ancaman potensi bencana banjir, dan infiltrasi air laut ke daratan yang sewaktu-waktu dapat mengkontaminasi sumber air tawar di berbagai belahan wilayah Belanda.

Gambar 2. Peta Kontur Wilayah Perairan yang Membelah Belanda

Sumber: Water Management in the Netherlands, Rijkswaterstaat Ministry of Infrastructure and the Environment (2011:9)

Implikasi paling nyata dari lanskap geografis “ekstrim” seperti itu, menyebabkan masyarakat belanda harus “berdamai” dengan air. Bagaimanapun, wilayah perairan adalah elemen sentral yang menjadi basis teritori keseharian masyarakatnya. Kesalahan kecil dalam merencanakan dan memproyeksikan pembangunan infrastruktur pada kontur geografis seperti itu, akan berimbas besar terhadap kehidupan masyarakatnya. “Bersengketa” sedikit saja dengan air, menyebabkan mereka harus bersiap diterpa terjangan banjir bandang yang mampu menelan korban jiwa hingga meluluhlantakan berbagai infrastruktur. Peristiwa itu pernah terjadi pada tahun 1421 dan tahun 1953, dimana sebagian besar daratan Belanda mengalami bencana banjir besar yang memporakporandakan infrastruktur mereka.

Gambar. 3. Banjir besar / Watersnoodramp Tahun 1953 (Febr 1) di Achthuizen Netherlands

Sumber: https://www.flickr.com/photos/22408734@N08/4137781239/

Inovasi, Meredefinisi Bencana Menjadi Berkah

Perjuangan masyarakat Belanda untuk “menjinakan” air laut yang terus mengancam wilayah daratan mereka seolah tidak pernah berkesudahan. Semenjak nenek moyang mereka bermukim dan menetap di dataran Netherlands ini, masyarakat Belanda tidak pernah mengenal kata menyerah agar bisa hidup tenang berdampingan dengan air. Keyakinan itu tergambarkan dalam buku terbitan Kementerian Infrastruktur dan Lingkungan Belanda yang berjudul “Water Management In Netherlands sebagaimana dikutip berikut ini;

“Living on the edge of land water offers many benefits, which is why our ancestors stayed here despite the intrusive sea, trying to learn to live with water. Excavations near Vlaardingen in the late 1990’s proved the water management was already part of life before the Common era began”

Sumber: Kementerian Infrastruktur dan Lingkungan Belanda (Water Management In Netherlands, 2011:13)

Dengan demikian, secara teknis konsep “water management” sebetulnya telah diaplikasikan jauh sebelumnya, hingga kemudian menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan masyarakat Belanda. Relasi itu setidaknya dapat terlihat pada grafik berikut;

Gambar 4. Evolusi Inovasi Teknologi Water Management di Belanda dari abad ke abad

Sumber: Kementerian Infrastruktur dan Lingkungan Belanda (2011)

Selama berabad lamanya, masyarakat Belanda harus berinteraksi dan bernegosiasi dengan wilayah perairan yang membelah daratan mereka. Berinteraksi dan bernegosiasi dengan perairan, bukanlah perkara yang sederhana. Untuk dapat menjinakan keekstriman wilayah geografis seperti itu, sekurangnya dibutuhkan pendekatan integratif yang mampu mensinergikan antara inovasi teknologi dengan seting sosio kultural masyarakatnya.

Jejak panjang yang menyejarah dalam interaksinya dengan wilayah perairan, menjadikan pengetahuan masyarakat Belanda yang ditempa oleh pengalaman itu, terus menerus berevolusi hingga mengakar dalam cara berfikir mereka dalam menangani air. Salah satu pengalaman berharga yang menjadi titik balik masyarakat Belanda dalam menyikapi bencana, adalah kejadian banjir besar yang terjadi pada tahun 1953.

Gambar 5. Peta Bencana Banjir Tahun 1953

Sumber: http://www.mokeham.com/dutchthemag/?p=19764

Bencana banjir tersebut kemudian direspon Pemerintah Belanda dengan membuat dan mengembangkan Delta Project agar dapat mencegah terulangnya bencana banjir seperti tahun 1953. Delta Project merupakan kebijakan terintegrasi mengenai pembangunan rangkaian konstruksi bendungan skala gigantika yang juga melibatkan beragam intervensi didalamnya, mulai dari konsekuensi ekologisnya hingga bagaimana mengintegrasikannya kedalam kebijakan “water management” pemerintahan Belanda (Kementerian Infrastruktur dan Lingkungan Belanda, 2011).

Gambar.6 Ikon The Best Protected Delta In The World

Sumber Foto: http://www.government.nl/issues/water-management

Keberhasilan Belanda dalam menangani bencana melalui serangkaian inovasi melalui Delta Project tersebut pada akhirnya berbuah berkah. Belanda didaulat sebagai pionir hingga kemudian menjadi kiblat negara lain dalam merancang kebijakan penanganan air. Keberhasilan tersebut sekaligus menkonfirmasi, bahwa Belanda memang layak menyandang sebutan sebagai “The Best Protected delta in The World”

Referensi:

Tim editorial. 2011. “Water Management In Netherlands”. Ministry of Infrastructure and the Environment.

http://www.government.nl/issues/water-management

http://www.mokeham.com/dutchthemag/?p=19764

https://www.flickr.com/photos/22408734@N08/4137781239/

http://id.wikipedia.org/wiki/Belanda

Mohon tunggu...

Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun