Mohon tunggu...
Mas Agus Firmansyah
Mas Agus Firmansyah Mohon Tunggu... Dosen - Pencari Suaka Akhirat

Staf Pengajar Jurusan Ilmu Komunikasi FISIP Universitas Bengkulu. Entahlah suatu saat nanti, namun yang pasti personifikasi air mengalir menjadi filosofi sebagai bentuk berserah diri pada ketetapan Ilahi.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Logika Terbalik Dalam Mengatasi Korupsi

21 Januari 2011   05:52 Diperbarui: 26 Juni 2015   09:20 375
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Ketika banyak aparatur negara terlibat secara resmi dalam aktivitas korupsi, maka pemerintah sudah kehilangaan wibawanya. Hukum bukan lagi panglima tertinggi. Materi dan kuasalah yang saat ini berperan ganda sebagai penegak hukum. Mafia pada akhirnya adalah alat yang paling berkuasa mengatur hukum negara.

Solusinyapun kemudian ramai-ramai dicari. Presiden walau terlambat akhirnya mengeluarkan instruksi, satgas mafia hukum kesana-kemari memperkuat bukti dan pengamat berkicau dengan beratus tawaran solusi dimedia televisi.

Namun lagi-lagi penegakan hukum tidak juga menemukan solusi. Tawaran mengenai pembuktian terbalik akhirnya hanyalah sebatas diplomasi. Melalui tulisan ini saya mencoba mengurai dan menawarkan solusi.

Melihat banyak kejanggalan dan keganjalan dalam menangani kasus korupsi di Indonesia, maka terpikir dalam benak saya bagaiamana kalau korupsi kita jadikan gerakan nasional saja. Maksudnya  bukan gerakan nasional pemberantasan korupsi. Akan tetapi gerakan nasional untuk menghalalkan korupsi. Mengapa demikian?

Logika bangsa kita dizaman ini sudah terbalik. Orang yang menolak suap di zaman sekarang pastilah kita katakan tidak normal. Sementara mereka yang menyuap dan disuap adalah tindakan normal. "Mana ada sih,  lulus tes CPNSD tidak menyuap",  demikian seloroh seorang warga terdengar. Bahkan mau naik jabatan saja perlu suap, tandasnya. "Saya mau cepet dapat no antrian nonton bola saja harus nyuap petugasnya", kata yang lain. Suap is the best lah, demikian kesimpulan akhir kita.

Apalagi instusi resmi penegakan hukum dan pemerintahan sepertinya sudah menjadikan korupsi sebagai gerakan/ruh institusi mereka. maka bentuk paling logis untuk mendukung aparat penegak hukum itu adalah menjadikan apa yang mereka lakukan sebagai gerakan nasional. Oleh karena itu mari kita galakan saja budaya korupsi sebagai gerakan nasional.

Bagi mereka yang berdagang, kurangi timbangnya dan catut uang kembalian pembeli. Bagi pembeli, ambil saja 2 barang terus bayarnya cukup 1. Makan dua piring, ngaku aja hanya menghabiskan satu piring. Untuk mereka yang jadi sopir angkot, ngacir saja setelah menerima ongkos penumpang tanpa harus mengembalikan uang kembalian. Bagi yang jadi guru dan dosen, jual saja nilai kepada mahasiswa. Bagi mahasiswa ngaku saja uang SPP naik.

Nah, dengan gerakan budaya korupsi seperti ini, maka dengan sendirinya masyarakat dengan sangat pasti telah mendukung para aparat. Maka, bagi aparat yang berani menangkap koruptor termasuk aparat yang tidak normal. Lah, wong mulai dari pemerintahan sampai rakyatnya pada korupsi kok. Biarlah kita sembelih saja urat malu bangsa ini. Dengan logika terbalik tadi, maka kita semua berhak dan berkewajiban untuk korupsi. Jadi jangan salahkan alam dan Tuhan ketika bencana melanda negeri bertubi-tubi.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun