Waktu dulu kecil, tak jauh dari rumah kami tinggal Mbah Semar. Saya sering kesana, karena di sana banyak jajan. Walau begitu tak mudah untuk sekadar mendapatkan jajanan itu, sebab sebelumnya saya harus menjawab dulu pertanyaan sebagai test kecil-kecilan lah.
Suatu ketika saya minta minum teh. Diseduhkanlah teh dalam cangkir jadul dengan air hangat. Saya masih ingat betul Mbah Semar lalu mengambilkan gula pasir. Tidak menggunakan sendok, namun dijumputnya dengan jari, lalu dimasukkannya dalam cangkir. Barangkali ada tiga atau paling banter lima butir sepengamatan saya. Lalu diaduknya.
"Sudah ini diminum. Cari gulanya biar kamu bisa merasakan manisnya,"katanya sambil tersenyum.
Saya melongo. Disuruh mencari adukan gula yang cuma berapa butir dalam cangkir raksasa untuk ukuran saya waktu itu.
"Kalau kamu bisa mendapatkan gulanya, pasti akan bisa kamu rasakan manisnya walau airnya segentong,"lanjutnya sambil memamerkan moho (sejenis kue basah pasaran).
Mau nggak mau sayapun kemudian belajar minum air yang ukuran umum pasti nggak bisa untuk dibilang manis. Tetapi dari sini saya belajar mengabaikan rasa tawar untuk menemukan titik manis dari unsur yang telah bercampur begitu rupa.
Hingga kini. Saat saya bisa memahami manisnya rasa walau hanya sebutir gula dalam wadah apapun yang terhidang di depan mata.
Gusblero, 28 November 2020
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI