Setelah Toto Santoso Hadiningrat dan Fanni Aminadia ditangkap, apakah motif berdirinya Keraton Agung Sejagat di Purworejo segera bisa disampaikan kepada publik? Ternyata tidak. Asumsi liar yang berkembang kemudian bahkan menengarai kasus ini atau yang serupa ini akan terus dirawat sebagai modal pengalihan isu.
Asumsi ini tidak lantas serta merta bisa disalahkan, mengingat dalam waktu serentak kemudian di beberapa wilayah negeri ini muncul fenomena dengan tipikal hampir serupa.Â
Di Bandung muncul Sunda Empire dan di Blora ada Keraton Djipang. Apakah seluruh keberadaan itu muaranya berorientasi penipuan semata?
Hal yang tidak jelas ini menjadi tambah tidak jelas. Mereka penipu, meresahkan masyarakat, maka sah untuk segera dijebloskan ke dalam penjara. Itu saja yang menjadi framing.Â
Tak ada penelusuran lebih lanjut siapa sebenarnya mereka, orang tuanya, masa lalu kanak-kanaknya dan sebagainya. Padahal itu bisa jadi kunci moral alasan terjadinya serangkaian fenomena ini.
Saya sebagai orang Wonosobo, juga sempat kaget mengetahui kemudian identitas yang ada pada KTP Toto Santoso menyebutkan ia lahir di Wonosobo. Namun hingga tulisan ini dibuat keberadaan masa kecil Toto Santoso di Wonosobo masih tidak jelas.
Tidak jelas itu artinya tidak lazim. Sama dengan apa yang dilakukan Toto dan orang-orang yang hendak mendirikan kerajaan itu, tidak lazim. Lalu oleh sebab yang dilakukan itu tidak lazim lantas bisa disederhanakan begitu saja sebagai tindakan penipuan?
Yang dilakukan tukang sulap di atas panggung itu sepenuhnya penipuan yang secara indah kita sebut sebagai trik. Pengalihan isu juga trik. Membingkai citra melalui media televisi juga trik. Yang dilakukan Toto Santoso dan para pengikutnya (kalau kita bisa sebut begitu) barangkali tak lebih juga trik.
Hari ini ketika banyak sekali para pewaris tahta kerajaan -- Putri Ayako dari kekaisaran Jepang, pangeran Harry dari Kerajaan Inggris, misalnya -- menanggalkan gelar kebangsawanannya, Toto Santoso justru melakukan anomali. Ia secara terang-terangan menambahkan gelar HRH (His Royal Highness) atau Yang Mulia HRH Toto Santoso Hadiningrat sebagai identitas resminya.
Ditilik dari akun Instagram @hrhtoto kita bisa lihat eksistensi 'raja disiang bolong' itu. Postingan pertamanya 18 Mei 2016 yang diberi caption 'Great Catastrophe 2020'(bencana hebat 2020) menunjukkan ia bukan hanya seorang dukun bau kemenyan.