Ketika iring-iringan jenazah itu memasuki jalan tol. Orang-orang di sepanjang jalan, orang-orang di jembatan penyeberangan berdiri tertegun. Mereka menundukkan kepala memberikan penghormatan terakhir kalinya. Tanpa suara. Mereka mengeja dari dalam lubuk jiwa. Untuk keharuman Flamboyan yang telah pergi selamanya.
Siapa lagi yang akan kau rindukan, Indonesia?
Siapa lagi yang akan menatap wajah anak-anak penuh kasih dan sayang saat esok hari tiba?
Ramadhan 1440 H hampir berakhir. Ketika banyak orang berjubel-jubel mencari cara untuk bisa mudik. Ia mendapati dirinya sendiri harus pulang. Angin dari Negeri Tumasik yang berhembus tenang pada Ramadhan hari ke-27 itu, membawanya pulang kepada keabadian yang hakiki.
Ramadhan Karim. Siapa sesungguhnya yang lebih beruntung, Indonesia?
Kita yang masih berdiri dengan beragam mimpi tak pasti, ataukah Flamboyan itu yang telah kembali ke haribaan ibu pertiwi?
Dua hari ini hening. Hanya suara Talqin Dzikrullah berkumandang di Puri Cikeas dan seluruh penjuru tanah air. Dialunkan sendu dan syahdu agar tidak membangunkan Sang Flamboyan dalam tenang peraduan. Lalu siapa pula yang sesungguhnya takut menghadapi kematian sebagai sebuah keniscayaan?
Engkaukah yang takut kehilangan, Indonesia?
Atau barangkali kita yang tak pernah siap benar untuk ditinggalkan?
"Setiap dari kita akan berpulang menyatu dengan tanah. Saat itu datang, nilai-nilai yang ditinggalkan manusia sepanjang hidupnyalah yang mengharumkan pengistirahatannya yang terakhir." Begitu telah ditulisnya dalam buku Kepak Sayap Putri Prajurit tahun 2010. Flamboyan itu.
Bukankah itu al Insanul Kamil yang memahami utuh dirinya, Indonesia?