Mohon tunggu...
Gusblero Free
Gusblero Free Mohon Tunggu... Administrasi - Penulis Freelance

Ketika semua informasi tak beda Fiksi, hanya Kita menjadi Kisah Nyata

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Ashabul Satpol

13 Juni 2016   04:19 Diperbarui: 13 Juni 2016   08:52 25
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Apakah saya akan marah kepada anjing yang mengganggu anak-anak kita yang sedang pasaran? Tentu saja tidak. Kelakukan anjing ya begitu, bilang saja pada pemiliknya kok anjingmu begitu. Justru keliru kalau kita berharap anjing bisa toleran laiknya manusia pada umumnya. Kecuali mungkin anjingnya Ashabul Kahfi.

Akan tetapi yang demikian juga tidak mudah. Hari ini kita ada di suatu masa, dimana perintah atasan tak ubahnya wahyu yang tidak bisa ditolak. Bahwa kemudian ada orang-orang baik dengan nalar yang mencukupi untuk melakukan tindakan arif, tentu juga satu hal yang patut untuk kita syukuri.

Ini bulan puasa. Dan sangat imposible rasanya kalau sebagai muslim kita tidak memahami repotnya orang mengejar setoran. Anda tidak bisa langsung mengharamkan orang yang menjual nasi pecel di tengah perempatan disiang bolong misalnya. Banyak orang memiliki kecemasan bahkan sudah sampai level sembilan. Disisi lain banyak orang kehilangan kepekaan terhadap apa yang sedang dialami tetangga di lingkungannya sendiri.

Keinginan untuk mencari uang agar bisa menjalani silaturahmi saat lebaran nanti adalah juga keniscayaan euforia yang tak bisa dipungkiri. Belum lagi ongkos pendidikan anak yang sudah antri, juga mendandani mereka dengan pakaian cukup pantas agar tetap percaya diri dalam pergaulan yang kekinian.

Anda, kita semua, mungkin bukan jenis-jenis orang yang setipikal mereka yang termasuk dalam Ashabul Kahfi. Tetapi nalar bersih kita, sepanjang kita mau menggunakan, tentu tak akan tega melakukan tindakan asal-asalan yang semena-mena diri.

Bayangkan jika mereka itu anakmu, temanmu, sahabatmu, ibumu, bapakmu, atau saudara-saudaramu sendiri. Untuk apa kita mengunggulkan sikap saling menyayangi, salaing menghargai, saling memaafkan. Kalau untuk itu semua kita masih memilah kepada siapa kita hendak bertoleransi.

Hari ini saya berpuasa, dan tidak ada urusannya dengan teman-teman lain baik yang beragama Islam atau bukan yang tidak menjalankan puasa. Bahkan apakah Anda mau berpesta gila di depan saya silahkan, saya tetap akan berpuasa. Urusan makan atau makanan itu perkara seupil, derajat puasa lebih tinggi. Tidak punya uang kepingin yang enggak-enggak malah lebih bisa membuat puasa saya batal. Lebih dari itu, saya adalah orang pertama yang harus Anda hadapai jika keinginan mencari nafkah secara baik agar hidup tidak menjadi nista itu dihalang-halangi.

Idza lam tastahi fasna ma syi’ta, jika kau tidak malu, perbuatlah sesuka hatimu!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun