Mohon tunggu...
Gusblero Free
Gusblero Free Mohon Tunggu... Administrasi - Penulis Freelance

Ketika semua informasi tak beda Fiksi, hanya Kita menjadi Kisah Nyata

Selanjutnya

Tutup

Politik

Kalah Susah Menang Mubah

2 Juni 2014   02:09 Diperbarui: 23 Juni 2015   21:50 9
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Tidak seseorang yang saya lebih cintai bulan-bulan ini kecuali dua orang yang tengah mencoba membuktikan dirinya pantas menjadi pemimpin dari negeri ini: Prabowo dan Jokowi. Kepada keduanya saya menaruh simpati dan respect yang mendalam. Seperti lomba idol, keduanya memang yang saya rasa paling pantas untuk masuk grand final. Dan jika sekelas ajang idol saja, pesertanya bisa saling rangkul entah siapa kemudian jadi pemenangnya, saya sangat berharap dengan sikap kenegarawanan yang ada, keduanya juga akan bisa menularkan keteladanan dalam menerima hasil keputusan demokrasi yang puncaknya akan tergelar 9 Juli 2014 nanti.

Ini penting, karena dua-duanya adalah tipikal jago atau tokoh yang kita harapkan akan tetap ada dan terus kita punyai dalam setiap denyut nadi negeri kita yang terus berkembang ini. Pilpres, tentu saja hanya soal siapa paling banyak mendapatkan coblosan pada saat Pemilu dilakukan. Dan ini tidak ada hubungannya dengan soal ampuh-ampuhan, sehingga sama sekali tidak masuk akal kalau kemudian muncul dari segelintir tim sukses yang ada menyatakan pertarungan dalam ajang Pilpres tak ubahnya perang Badar. Tidak, benar-benar tidak. Kalah menang adalah sebuah keniscayaan demokrasi, tetapi hendaknya jangan sampai menumpahkan korban. Apalagi keduanya adalah kader-kader terbaik bangsa ini, untuk itulah saya ingin menarik benang rekonsiliasi, agar keduanya tetap bisa saling melakukan sinergi kebangsaan paska Pilpres nanti.

Saya sama sekali bukan orangnya Prabowo atau pun Jokowi, kenal saja tidak, dan saya juga tidak tertarik untuk lebih mengistimewakan satu dibanding lainnya. Prabowo, saya melihatnya sebagai orang baik. Orang baik yang ingin dikenang telah berbuat sesuatu untuk negeri ini. Itu bagus, begitu pun dengan Jokowi.

Persoalannya begini. Kalau nanti Prabowo kalah terus bagaimana? Akan susah, itu jelas. Uang milyaran hilang hanya untuk memeriahkan pesta demokrasi, sudah kalah hanya tinggal teman yang saling menyalahkan. Berbeda dengan status Jokowi, kalau pun kalah ia masih bisa menjabat kembali statusnya sebagai Gubernur DKI. Dititik ini, jika Prabowo menang dan Jokowi kalah, keduanya masih akan tetap disandingkan dan terus diperbandingkan kiprah keduanya sebagai pejabat publik. Yang satu mengurusi persoalan negara, satunya lagi mengurusi persoalan ibukota negara.

Tetapi kita lihat lagi aksi-aksi dari masing-masing tim pendukung capres yang ada. Entah bagaimana aslinya, namun sebagai rakyat kecil saya melihat klausal koalisi yang dijalin oleh Prabowo cenderung berbentuk bargaining bagi-bagi kue jabatan. Ada kampanye negatif, namun yang dilakukan tim-tim Jokowi terlihat lebih cerdas karena lebih mampu menahan diri. Ketika Jokowi dicitrakan bukan sebagai pemeluk Islam, azas ke-Tuhan-an yang diimaninya, tim-tim sukses Jokowi tidak bersegera membalas dengan mengungkapkan fakta bahwa justru Prabowo yang dilahirkan bukan dari keluarga muslim misalnya. Tim Jokowi terlihat lebih bisa menjaga hal-hal yang menyinggung SARA dan berpotensi mengurangi dukungan.

Ketika Jokowi diwanti-wanti Megawati bahwa dalam posisi apapun ia adalah tetap petugas partai, tidak terlihat ada reaksi frontal disitu. Masyarakat melihat apa yang dilakukan Megawati adalah sesuatu yang wajar, mengingat dia adalah pemilik dari gerbong utama pengusung pencapresan. Itu seperti wejangan dari seorang ibu untuk tidak melupakan asal-usulnya. Sekali lagi, itu menjadi perkataan atau ungkapan yang wajar, yang tidak mengurangi sedikit pun semangat dari orang-orang yang pro Jokowi untuk mendukungnya dalam Pilpres.

Sedikit berbeda dengan Prabowo. Saya melihat ia hanya berjalan sendirian. Hampir mirip dengan saat ia mengurusi kesatuan, partai yang dibawahinya nampak hanya kompak dalam bersuara siap komandan, namun gagal dalam membangun koalisi yang tidak membuat Prabowo kedodoran. Ini bisa dimaklumi, mengingat pergulatan tokoh-tokoh Gerindra dalam kancah politik relatif masih baru. Toh begitu, pertanyaan yang tersisa, apakah kemudian jika Prabowo menang dalam Pilpres nanti, tidak akan membuat pencapaian itu menjadi mubah? Prabowo menang, namun keinginan anak kandung partai menjadi tidak terakomodasi karena saking banyaknya kepentingan harus dibagi porsi.

Maka begitulah saya ingin menulis sesuatu yang sifatnya rekonsiliasi. Prabowo dan Jokowi apapun nasibnya nanti, keduanya adalah asset negeri ini, bagian-bagian yang hidup dari bangsa yang terus berkembang. Ini tidak kalah penting, agar ketika perhelatan selesai keduanya masih bisa saling bersilaturahmi sebagai kawan. Dan biarkan orang-orang dalam tim yang cenderung melakukan provokasi melalui sentimen SARA, sentimen agama, dan pembulian hasil sementara kinerja, meringis sendiri karena jago yang dibayangkannya akan mudah diadu domba, ternyata adalah warga negara kehormatan Indonesia, negarawan tulen dari sekian yang kita punya.

salam Indonesia!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun