Mohon tunggu...
Gusblero Free
Gusblero Free Mohon Tunggu... Administrasi - Penulis Freelance

Ketika semua informasi tak beda Fiksi, hanya Kita menjadi Kisah Nyata

Selanjutnya

Tutup

Politik

Seperti Cermin Pudar yang Tak Bisa Lagi untuk Berkaca

15 Juli 2014   02:44 Diperbarui: 18 Juni 2015   06:19 97
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Joachim Loew, pelatih Jerman yang berhasil mengantarkan Deutscher Fußball-Bund (DFB) menjadi Juara Dunia 2014 menyampaikan deklarasi kemenangan yang sangat menarik. Konon, butuh waktu 10 tahun baginya membangun Persatuan Sepakbola Jerman hingga berhasil meraih prestasi seperti saat ini, dan itu telah ia awali bersama Juergen Klinsmann sejak 2004 silam untuk melakukan pembinaan terus-menerus. Pernyataan yang disampaikan di stadion Maracana, Rio de Janeiro, Brasil (14/7/2014) tak lama selepas Jerman menggilas Argentina ini sungguh inspiratif, bukan egosentris, dan sangat jauh dari jumawa.

Apa yang disampaikan Joachim Loew bagi saya adalah ungkapan guru kelas dunia. Substansi dari pernyataan itu memberikan gambaran yang sangat jernih, perlunya olahraga, dalam hal ini khususnya sepakbola, memiliki otoritas sendiri dalam pencanangan target prestasi, yang hendaknya tak perlu dirunyami persoalan politik walau pun kemudian orde kekuasaan bergonta-ganti selaras citra partai politik yang kemudian jadi penguasa.

Di Jerman sendiri kita tahu, ada Partai Uni Kristen Demokrat (CDU), ada Partai Sosial Jerman (SPD), Partai Republik (Republikaner), Partai Nasionalis Jerman (NPD), Partai Sosial Demokrat (PDS). Namun jauh dari fenomena seperti halnya dulu PSSI kita yang baru juga mau berlaga di turnamen Asia sudah jadi rebutan para tokoh politik, digotong sana digotong sini, diboyong sana diboyong sini menjadi bagian propaganda penguasa untuk membentuk persepsi publik dalam kaitannya kepeduliannya terhadap dunia olahraga.

Menyaksikan kegembiraan para pemain Jerman merebut Piala Dunia 2014 seakan ikut merasakan kebahagiaan seluruh warga negara Jerman atas prestasi yang diraih oleh para atlitnya. Membandingkan kemudian dengan situasi Pilpres 2014 saat ini di Indonesia, sungguh menjadikan mulut ini jadi kecut dibuatnya.

Tentu, tak ada nilai sempurna dalam penyelenggaraan sebuah even demokrasi. Namun kenyataan, bahkan Pemimpin di negara kita sendiri tidak 100% kemudian bisa menjamin estafet kekuasaan akan bisa berjalan dengan mulus, sungguh-sungguh telah membuat kita makin bertanya-tanya. Kontrol seorang Pemimpin sebagai simbol pemersatu bangsa saat ini terkesan menggantung di awang-awang, dan bahkan rakyat dipaksa menerka sendiri nasibnya sampai pada saat pengumuman KPU 22 Juli 2014 besok. Selebihnya, bahkan paska pengumuman itu kita juga tidak ada gambaran akan seperti apa regulasi kebijakan dikeluarkan pemerintah untuk mengatasi silang sengkarut Pilpres kali ini. Dan ini adalah sesuatu yang sangat tidak bisa memberikan kenyamanan pada warganya, ketika pemerintah hanya bisa mengambil dan menentukan peran selepas kejadian. Bukankah jika demikian yang terjadi, artinya kita menempatkan wujud kekuasaan di negeri ini hanya serupa pemerintahan yang reaksioner, tanpa kendali visi yang jelas dalam mengelola sistem suksesi kepemimpinan?

Seorang Pemimpin, ibaratnya adalah kaca benggala, cermin bagi kita untuk bersikap sebagai negarawan, sebagai warga bangsa yang ideal, serta penuh keteladanan. Namun, melihat sendiri bahkan nyaris sepekan sesudah coblosan, rakyat masih dibiarkan bertikai sendiri karena disulut statemen-statemen yang tak kunjung anteng dan menenangkan dari para pelaku politik dan tokoh di negeri ini, adalah sesuatu yang mencengangkan. Hanya menggantungkan nyala terang negeri ini pada sebatang lilin bernama keputusan KPU pada 22 Juli 2014, sungguh seperti mendengang-dengungkan ajakan sikap introspeksi nasional pada cermin pudar yang tak bisa lagi untuk berkaca.

Jabat erat Indonesia! link terkait

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun