Mohon tunggu...
Gusblero Free
Gusblero Free Mohon Tunggu... Administrasi - Penulis Freelance

Ketika semua informasi tak beda Fiksi, hanya Kita menjadi Kisah Nyata

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Pelajaran dari Gunung

30 Desember 2014   19:56 Diperbarui: 17 Juni 2015   14:09 100
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
14199185852146713762

Lelaki sepuh itu usianya barangkali sekitar enam puluhan tahun, saya bahkan tidak tahu tepatnya. Sudah ada tiga atau empat kali saya menemuinya. Dari pasar Kertek Wonosobo ke timur sekitar 100 meter ada gapura kecil sebelum Pondok Pesantren Tempel, masuk ke dalam sekitar 100 meter lagi Anda akan dengan mudah bisa menemukan rumah di ujung gang yang selama ini ditinggalinya.

Namanya Fathoni, juragan tahu. Sepintas berbincang dengannya, Anda tidak akan menemukan keistimewaan apapun pada lelaki yang sehari-harinya memakai kopiah dan sarung ini. Sama halnya dengan saya. Pertama-tama kali mampir ke rumahnya saya disuguhi tahu goreng, tahu yang enak, dan asyiknya setiap kali pulang selalu dibawain dua tiga bungkus tas plastik sebagai oleh-oleh. Ya, dia memang lelaki yang ramah, namun tidak begitu banyak cerita. Itu kisah enam tahunan yang lalu.

Musim penghujan datang, wilayah Jemblung Karangkobar Banjarnegara longsor, dan banyak juga wilayah di kabupaten Wonosobo mengalami hal yang sama. Triwulan akhir 2014 ini penuh cobaan alam yang tak kurang berujung menjadi bencana bagi manusia. Dan tiba-tiba saya teringat kepada juragan tahu itu, lalu bersegera menemuinya.

Benar juga insting saya, rumahnya kebanjiran, namun ia tidak ada di rumah. Air yang meluap dari pematang sawah di belakang rumahnya menggenangi lantai sampai semata kaki. Saya sudah hendak ikut turun tangan membantu, namun salah satu anaknya justru mengajak saya menyusul bapaknya di pondok. Di pondok? Ya, di pondok. Dan cerita tentang pondok inilah yang sedianya akan saya bagikan kepada Anda-anda semua.

Berjalan 200 meter ke utara mengitari kampung Anda akan menjumpai jalanan dusun dengan aspal yang sudah separo rusak. Lalu nun di tengah hamparan sawah Anda akan dengan mudah menemukan bangunan semi permanen berpagar batako dengan papan nama di depannya SMP Takhassus Al-Qur’an Filial Kertek.

Menemukan adanya sebuah lembaga pendidikan di pelosok-pelosok negeri ini sebenarnya sudah tidak membikin saya jadi kaget, disebabkan karena memang sudah tugas pemerintah untuk bisa menjangkau seluruh masyarakat di pedesaan agar melek huruf. Akan tetapi mengetahui kemudian bahwa sekolahan yang sedang diterpa hujan lebat dengan para siswa saling berjibaku mengatasi banjir itu adalah milik pribadi Fathoni sungguh membuat saya terpana.

Areal sekolahan itu berdiri di atas tanah seluas 1 hektar. Ada banyak bangunan di lingkungan itu. Ada tiga bangunan kelas untuk proses belajar mengajar, ada lima bangunan untuk asrama putra dan putri, ada dua buah gudang berisi tumpukan kayu dan tanaman-tanaman polibag, dan ada beberapa petak kolam berisi ikan kecil-kecil namun jumlahnya sedikit.

Sekolahan itu menampung 140 orang siswa, dari kelas satu sampai kelas tiga. Tanggal 17 Januari 2015 (27 Maulud) besok ini adalah wisuda pertama dari kelas jauh SMP Takhassus yang menginduk Yayasan Al-Asy’ariyyah ini. Dan yang membuat ketakjuban saya tak terhenti adalah seluruh siswa gratis tidak dipungut biaya untuk menempuh pendidikan di tempat itu. Kesemuanya didanai secara pribadi oleh Fathoni, termasuk gaji para pengajar yang saling bergantian mengisi pendidikan. Hingga bulan Desember 2014 saat saya mendatangi tempat itu, tidak ada atau belum ada seribu rupiah pun dana berasal dari pihak-pihak lain yang membantu kelangsungan sekolah yang ada.

Fathoni, lelaki sepuh itu. Apa sih yang sebenarnya ada di kepala lelaki yang oleh orang kampung sering disapa sebagai Pak Kyai itu? Mata pencahariannya hanya mengolah kedelai untuk dijadikan tahu, namun bagaimana bisa ia memfasilitasi pendidikan 140 siswa dari keluarga tak mampu itu. Tidak hanya memberikan pendidikan gratis, ternyata ia juga memberikan makanan, asrama, dan pakaian (setahun 2 stel) secara cuma-cuma kepada para siswanya. Saya tetap tak habis pikir. Dan satu-satunya jawaban yang bisa sedikit menentramkan pertanyaan saya adalah: semua itu atas kehendak Allah. Semuanya itu atas kuasa Allah. Anda kurang percaya, silahkan buktikan catatan ini.

Kisah tentang Fathoni ini mengingatkan saya kepada Uwais al-Qarani, ia yang tidak terkenal di bumi, namun terkenal di langit. Uwais al-Qarani adalah seorang anak muda dari Yaman yang hidup pada jaman Rasulullah, orang biasa dan ia belum pernah sekalipun bertemu dengan Rasulullah, namun Kanjeng Nabi Muhammad kepada para sahabatnya menyampaikan: “Suatu ketika, apabila kalian bertemu dengannya (Uwais al-Qarani), mintalah doa dan istighfarnya, dia adalah penghuni langit, bukan semata penduduk yang tinggal di bumi.”

Orang-orang bocor, orang-orang yang masih menghirup nafas di bumi, namun benaknya dipenuhi jagat malakut ke-akhirat-an. Orang-orang yang melihat untung rugi hanya sebagai normanya orang hidup, namun dibalik itu mereka lebih mementingkan mana yang lebih hasanah untuk kehidupan mendatang.

Astaghfirullah. Saya sungguh tidak berniat melebih-lebihkan cerita dari apa yang saya temui. Namun mengetahui kemudian bahwa alasan Fathoni mendirikan sekolahan adalah murni cita-citanya untuk melanjutkan perjuangan simbah Muntaha al-Khafidz (pendiri Pondok Pesantren al Asy’ariyyah Kalibeber Wonosobo), sungguh membuat saya tak bisa menghilangkan kemiripannya dengan apa yang pernah dilakukan oleh Uwais al-Qarani.

Banyak orang yang menertawakan bahkan mengolok-olok tindakan Uwais al-Qarani, yang walau pun hanya orang biasa yang bekerja sebagai penggembala kambing, namun upah yang ia dapatkan lebih sering ia pergunakan untuk membantu tetangga-tetangganya yang hidup dalam kemiskinan dan kekurangan. Terhadap seorang pembesar yang memberikan hadiah dua helai pakaian untuk menyindirnya, Uwais al-Qarani bersikap menerima hadiah itu sebagai satu bentuk penghormatan, namun lalu mengembalikannya lagi seraya berkata: “Saya terima pemberian ini sebagai satu kehormatan, namun mohon maaf saya akan mengembalikannya lagi. Bukan apa-apa, saya hanya khawatir nanti sebagian orang akan menuduh darimana saya bisa mendapatkan pakaian itu, hingga seluruh keluarga saya akan menjadi ketakutan.”

Dan pada Fathoni, lelaki sepuh yang bersahaja itu saya mendapatkan pencerahan. Pencerahan yang tidak biasa, pencerahan yang oleh banyak para alim ditengarai sebagai prinsip rahasia muasalnya kebahagiaan. Bahwa apa yang kita cari dan kemudian kita dapati dalam kehidupan ini, harus juga kita bagikan kepada orang lain, harus kita berikan kepada pihak-pihak yang lebih membutuhkan. Apakah itu sekadar berupa pelayanan atau pun sesuatu yang lebih maujud harta benda keduniawian.

Dunia adalah kubah kehidupan kecil, yang tindakan selirih apapun akan menimbulkan gema yang bisa menumbuhkan keteladanan bagi yang lain. Secuil apapun kebaikan yang kita lakukan, ia akan kembali. Jika bukan dari seseorang, ia akan datang dari yang lainnya. Itulah gemanya. Kita tidak mengetahui darimana kebaikan itu akan datang, namun satu hal pasti, ia akan datang dengan berkah beratus kali lipat dibanding apa yang pernah kita berikan.

Ting........jabat erat kemanusiaan!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun