Saatnya Rakyat Bergerak…
Kalimat di atas merupakan judul tajuk di Harian Jawa Pos edisi Sabtu (24/1), sehari setelah polisi menangkap Wakil Ketua KPK Bambang Wijoyanto (BW). Beberapa media cetak langsung menuliskan kasus itu dalam tajuknya. Judul tajuk tersebut saya kutip di awal tulisan ini karena saya menilai tajuk koran milik Dahlan Iskan ini paling keras dibanding koran-koran lain yang saya baca di edisi itu.
Jawa Pos mengkritik Presiden Joko Widodo yang tak berani membatalkan pencalonan Budi Gunawan (BG) sebagai Kapolri meski BG ditetapkan sebagai tersangka kasus gratifikasi oleh KPK. Pembiaran Jokowi ini kemudian memicu kisruh KPK vs Polri. Jawa Pos menulis “Begitu hebat BG sehingga seorang presiden pun tak berani membatalkan pencalonannya sebagai Kapolri. Demi seorang BG, Presiden rela mengorbankan reputasinya dengan menempatkan seorang tersangka kasus korupsi sebagai orang nomor satu di institusi penegak hukum Polri. Demi BG pula presiden tega membiarkan terjadinya perseteruan Polri dan KPK. Demi seorang BG partai politik pendukung Jokowi juga rela ‘mengkhianati’ konsituennya yang mendambakan pemberantasan korupsi”.
Jawa Pos menilai kericuhan yang menyerang KPK ini lebih dahsyat dari kasus cicak vs buaya sebelumnya. “Tidak saja cicak vs buaya, tetapi cicak melawan buaya, banteng, dan mungkin sekumpulan binatang buas yang lain. Hiiii…” tulis Jawa Pos. Betapa mengerikannya situasi tersebut, Jawa Pos berpendapat hanya kekuatan rakyat yang mampu melawan pengeroyokan terhadap KPK tersebut.
Sehari setelah kasus penangkapan BW, enam koran yang saya baca menurunkan kasus itu dalam tajuk. Tajuk merupakan ruang di media massa untuk menuliskan sikap media menyikapi isu-isu terkini. Tajuk merupakan sikap resmi yang berfungsi memberi pencerahan kepada publik terkait isu yang sedang in. Enam tajuk media meliputi Jawa Pos, Kompas, Suara Merdeka, Wawasan, Koran Tempo dan Republika saya menemukan semua koran itu condong “membela” KPK ketimbang polisi, khususnya menanggapi kasus penangkapan BW. Enam media bersikap, sulit menampik bahwa penangkapan BW sebagai bentuk balas dendam polisi setelah BG ditetapkan sebagai tersangka oleh KPK.
Wawasan dengan tajuk Tak Usah Saling Menerkam menulis bahwa penangkapan BG sebagai drama lucu-lucuan di awal tahun 2015. Wawasan memahami pembelaan masyarakat internet (netizen) yang secara spontan membela KPK atas kasus bambang. Sikap itu bukan sebagai pembelaan kepada BW melainkan lebih kepada penyelamatan lembaga antirasuah untuk pemberantasan korupsi.
Suara Merdeka (SM) dengan tajuk Jangan Biarkan KPK Runtuh menilai kasus BW merupakan bentuk balas dendam Polri terhadap KPK. SM juga menilai kasus itu janggal. Selain itu SM menyayangkan sikap Presiden Jokowi yang tidak tegas dalam menyelesaikan Polri vs KPK. “Rakyat tidak ingin KPK runtuh,” tulisnya.
Koran Tempo dengan tajuk Bertindaklah, Presiden Jokowi langsung menohok Jokowi yang tak berdaya menghadapi kekuatan yang ingin menghancurkan KPK. Reaksinya yang netral setelah BW ditangkap polisi dinilai Koran Tempo sangat mengecewakan. Presiden Jokowi semestinya segera mencegah kehancuran KPK dengan cara mengendalikan kepolisian. Ia akan dicatat sebagai presiden yang membiarkan pelemahan KPK bila tidak bertindak tegas menyelamatkan ujung tombak pemberantasan korupsi.
Tunggu Komitmen
Republika melalui tajuk Menunggu Aksi Jokowi meminta Jokowi turun tangan mengatasi keadaan. Jangan sampai Polri digunakan untuk melemahkan KPK dan sebaliknya. Presiden Jokowi tidak cukup hanya mengimbau kedua pihak agar tidak terjadi gesekan. Sebagai kepala negara, Jokowi mestinya melakukan mediasi agar ada solusi dalam mengatasi. “Kita menunggu komitmen pemberantasan korupsi seperti yang didengungkan Jokowi saat Pilpres,”.
Kompas melali tajuk Kegaduhan Politik, Publik Gundah mengatakan, apapun alasan dan pertimbangannya, kasus penangkapan BW sama sekali tidak membantu meredam kegaduhan politik yang dihadapi Indonesia. Kasus itu justru menambah kehebohan yang dapat merepotkan pemerintahan Jokowi-JK di tengah ancang-ancang melaksanakan agenda pembangunan. Tantangan semakin berat jika kemelut yang dihadapi bangsa Indonesia saat ini menggambarkan runyamnya keadaan zaman, yang membuat orang tidak mengenal kawan ataupun lawan, bellum omnium, contra omnes, perang melawan semua oleh semua. Dalam lapisan yang lebih dalam, jangan-jangan sedang sedang terjadi disorientasi yang secara kultural digambarkan sebagai jaman edan.