Ini menunjukkan eksistensi diri sebenarnya sesuatu yang sangat relatif, hasil konstruksi sosial. Dibentuk oleh kita sendiri, sadar atau tidak. Hilangnya eksistensi juga oleh kita sendiri. Eksistensi akan terus berubah mengikuti tren. Orang makan pakai daun pisang, itu fenomena dulu, fenomena alami kita.
Daun pisang mudah kita dapatkan di sekitar kita. Orang kemudian meninggalkan daun pisang karena tersedia bungkus makanan yang kian modern dan beragam. Sekarang? Di saat orang kenyang dengan sesuatu yang "modern", orang pun suka dengan makan dengan bungkus daun pisang.  Ini dimaknai sebagai sesuatu yang keren. Jadi, ini soal sudut pandang bukan?
Sebagai sesuatu yang terus bertansformasi, fenomena sepeda ini patut terus dicermati. Apakah sekadar tren sesaat, atau memang muncul kesadaran baru di masyarakat, bahwa menggunakan alat transportasi sepeda sebagai kebutuhan. Kebutuhan untuk menggunakan alat transportasi yang ramah lingkungan, hemat dan menyehatkan. Kemudian muncul penghargaan yang setinggi-tingginya bagi para pesepeda saat di jalan raya.
Bukankah selama ini para pengguna sepeda tidak dipandang sama sekali para perancang tata kota kita? Dengan tidak memberi akses pesepeda menggunakan jalan raya secara bebas? Di Kota Solo mulai dibangun jalan fly over untuk mengurangi kemacetan, terutama di jalan perlintasan kereta api. Sayang, jalan itu tidak memberi ruang pesepeda menggunakannya. Para peseda harus cari jalan lain kalau mau lewat. Inilah potret mental para pemangku kebijakan dalam menata ruang di sekitar kita.
Saya sih berharap, sepeda menjadi bagian dari hidup kita. Bukan sekadar bagian dari eksistensi kita.
Semoga...
Colomadu, 2 Agustus 2020Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H