Oleh : Verawati, M.Ed
Inflasi, Inflasi! Itulah yang kini tengah kita rasakan sebagai masyarakat pasca kenaikan BBM ini. Bahkan mungkin sudah terasa beberapa waktu sebelum harga tersebut resmi dinaikan.
Secara pribadi, saya sebagai seorang guru, sebagai ibu rumah tangga, sangat merasakan dampak inflasi yang semakin menjadi-jadi ini.Inflasi tak perlu bukti-bukti kongkrit berupa data statistik yang sulit untuk difahami. Inflasi dapat langsung kita rasakan sendiri. Bagaimana tidak, ketika rupiah makin turun nilai tukarnya, ketika uang semakin tak terasa habis, padahal nampaknya kita juga tidak merasa bertindak boros, itu disebabkan karena nilai rupiah semakin tidak berharga.
Bayangkan uang pecahan Rp. 50.000 bagi seorang ibu rumah tangga saat ini hanya bisa untuk makan 1 hari saja. Jika pendapatanper kapita rata-rata Rp. 2.000.000,- per bulan, itu berarti hanya 40 lembar uang pecahan 50.000, yang berarti 30 hari untuk makan dan sisanya 10 lembar pecahan 50.000 tersebut yakni Rp. 500.000 untuk keperluan lain-lain, misalnya sekolah. Cukupkah biaya sekolah Rp. 500.000 per bulan? Bagaimana jika anaknya lebih dari satu? Bagaimana jika mereka perlu uang jajan, uang transpirtasi harian. Itupun baru kebutuhan pokok saja alias kebutuhan primer. Belum lagi menyentuh kepada kebutuhan sekunder apalagi tertier. Sungguh penghasilan rata-rata penduduk sekitar Rp. 2.000.000 sangat sangat belum cukup bagi seorang kepala rumah tangga saat ini. Itupun kita masyarakat masih bersyukur karena mereka masih memiliki penghasilan.
Bagaimana dengan mereka yang belum memiliki penghasilan tetap? Sementara mereka tetap perlu makan. Itulah sebabnya permasalahan sosial lain mulai dari kriminalitas, penyimpangan seksual dan lain-lain marak bermunculan. Kriminalitas erat kaitannya dengan kebutuhan perut yang mendesak. Tindakan kriminalitas (termasuk korupsi) adalah dampak dari tidak meratanya penghasilan antara satu penduduk dengan penduduk yang lain.
Jika para ahli ekonomi menyatakan bahwa ekonomi Indonesia tumbuh, mungkin mereka benar, tapi pertumbuhan tersebut sangatlah tidak merata. Ekonomi tumbuh hanya bagi kalangan orang menengah ke atas.Itulah makanya selalu bermunculan daftar orang-orang kaya baru versi majalah luar yang isinya tidak sedikit warga negara Indonesia. Pertumbuhan terjadi namun pemerataan belum terjadi. Faktanya sederhana saja, masih banyak penduduk Indonesia yang berpenghasilan di bawah Rp. 2.000.000, bahkan mungkin di bawahRp. 1.000.00 yang artinya hanya beberapa ratus ribu saja per bulan. Contohnya, pembantu rumah tangga,tukang ojek,guru honorer dan masih banyak lagi profesi-profesi yang kita jumpai sehari-hari. Apakah ini bukti keberhasilan ekonomi? Belum lagi pasar bebas tahun 2015 yang siap mengancam produksi dalam negeri yang artinya akan mengancam para pengusaha kecil dan juga para petani. Rasa-rasanya inflasi akan jauh lebih tinggi lagi nanti. Sudah siapkah sesungguhnya Indonesia menghadapi pasar bebas ini?
Inflasi yang semakin menjadi-jadi memang tengah kita rasakan saat ini. Entah kapan rupiah mulai kuat lagi sebagaimana sebelum krisis moneter dulu. Duhai ekonomi Islam, apakah engkau mampu melawan ekonomi kapitalis yang sudah lama mengakar di bumi pertiwi ini?
Inflasi akan lebih gila lagi manakala akan menghadapi hari-hari besar. Untunglah masyarakat Indonesia cukup bersabarmeskipun sebenarnya mereka semua “berteriak” dalam himpitan inflasi yang semakin menjadi-jadi ini.
Wahai sang pemimpin, kami warga tidak hanya perlusituasi politik dan keamanan yang stabil, kami hidup juga perlu pemenuhan gizi yang cukup,pelayanan pendidikan dan kesehatan yang standar. Kami juga hidup perlu rekreasi sebagai salah satu kebutuhan dalam ilmu ekonomi. Kami mayoritas rakyatmu baru tahap pemenuhan kebutuhan primer saja. Itu pun baru cukupdi taraf sandang dan pangan saja. Masih banyak yang belum menyentuh kebutuhan papan sebab harga rumah semakin tak terjangkau.
Begitu banyaknya ahli-ahli ekonomi di negeri ini, namun mereka belum sanggup untuk membuat mata uang rupiah berjarak dekat dengan dollar. Jangankan dengan dollar, dengan ringgit saja Indonesia belum sanggup untuk mensejajarkan diri. Entah kapan Indonesia bisa menekan inflasi yang semakin hari semakinmenjadi-jadi ini.
Penulis adalah seorang guru Akuntansi di Bekasi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H