TNI kurang belajar dari sejarah. Peristiwa arogansi oknum TNI, Kapten A, atas pengendara motor di Jalan Palmerah, Jakarta, sebenarnya bisa dijadikan peluang bagi institusi TNI untuk mempromosikan TNI kepada rakyat bahwa TNI sudah berubah 100% dibanding jaman Orde Baru. Namun, melihat konferensi press yang dilakukan seorang perwira tinggi TNI di TV, sangat kental aroma pembelaan terhadap anggotanya yang jelas-jelas bersalah tersebut. Bukan sekedar pembelaan lagi, bahkan seolah sang perwira tinggi tersebut seperti "melegalkan" kelakuan anak buahnya yang kayak berandalan tersebut. Dalam statemen-statemen-nya, sang perwira tinggi tersebut juga terkesan menyudutkan "sang biker" pemberani tersebut. Bekalnya cuma pengakuan sepihak sang Kapten pengecut tersebut. Ya iyalah, mana ada orang ngakuin kesalahannya bila pengakuan tersebut punya konsekuensi yang maha berat, menyangkut : kelangsungan karier dan hukuman penjara.
Banyak pengakuan sang Kapten yang sangat tak masuk akal:
- Sang Biker nggedor-gedor mobil, yang nyata-nyata identitasnya sebagai mobil TNI.
- Sang Biker nendang mobil dinas TNI
- Sang Biker nyekik leher sang Kapten
- Sang Biker memukul duluan
Satu-satunya yang mau melakukan semua itu di negeri ini adalah ORANG GILA atau BALITA YANG BARU BELAJAR MERANGKAK!
Pembelaan sang perwira tinggi dalam "membela" kelakuan anak buahnya pun sangat naif:
- Memukul, menodongkan pistol, membawa pentungan besi kepada masyarakat sipil diyakini sang perwira tinggi sebagai refleks!
- Meminta permakluman dari publik bahwa seseorang wajar kalau terkadang bisa emosi.
Kalau semua cara berpikirnya macam itu ya hancur negara ini, dimana-mana bisa terjadi hukum rimba dan hukum jalanan, dengan alasan refleks dan sedang emosi.