Mohon tunggu...
Humaniora

Belajar Memahami Anak Muda

4 September 2016   08:24 Diperbarui: 4 September 2016   17:13 17
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Malam itu saya terkagum-kagum dengan suguhan yang sedang saya lihat dan dengar. Sebuah panggung musik yang sangat dinamis, para penampil yang usianya setengah usia saya, begitu juga dengan para penontonnya. Teriakan sanjungan, kegembiraan, tawa khas anak muda, semuanya menjadi satu dengan dentuman musik yang menderu namun sangat menghibur bagi telinga anak-anak muda ini.

Dan semua ini dikoordinasi oleh sekitar 300 anak muda, yang mungkin 2 persennya adalah murid langsung saya, sekitar hampir dua bulan yang lalu. Semuanya dilakukan mereka. Penjualan tiket, persiapan panggung dan sound system, persiapan gedung yang kebetulan milik kami sendiri, bahkan sampai tenaga keamanan dan pengatur parkir mobil dikoordinasi dan dilaksanakan sendiri oleh mereka (tentu dengan bantuan para profesional seperti sekuriti dan lain-lain). Acara ini adalah pembukaan dari even kompetisi olah raga dan kesenian yang akan berjalan seminggu penuh di sekolah kami.

Anak-anak ini ... mereka melaksanakan tugas dan perannya dengan sangat baik. Sangat patuh dengan instruksi, disiplin, dan tidak kelihatan ogah-ogahan. Tampak sekali keikhlasannya. Dan yang menarik, mereka gembira melakukannya. Ini tentu menjadi refleksi bagi saya selaku pengajar yang biasanya gampang sekali mengeluh bahwa anak didik saya cepat bosan, tidak mudah mengikuti instruksi, mudah kehilangan konsentrasi, dan lain-lain, dan lain-lain. Keluhan khas guru yang tidak memahami benar-benar siapa yang menjadi anak didik mereka.

Jujur saya banyak belajar semalam bagaimana mereka ini sebenarnya bukan seratus persen seperti yang pernah saya keluhkan. Mereka bisa menjadi disiplin, mengikuti aturan, melaksanakan perannya dengan baik, gigih melakukan tugasnya, dan ikhlas memberikan segalanya ...untuk apa mereka SUKAI. Dan masalahnya, kita selaku orang dewasa cenderung cepat menghakimi bahwa YANG MEREKA SUKAI itu buruk, bahwa mereka harusnya mengikuti saja arahan kita tanpa memberi mereka ruang untuk memberikan masukan tentang perannya. Kita sudah punya asumsi bahwa anak muda itu PASTI akan semaunya sendiri alias tidak mau mengikuti KEMAUAN KITA.

Dan saya merasa lucu kalau kemudian teringat bahwa saya dulu PERSIS seperti MEREKA. Dentuman musik dan tawa representasi kemerdekaan anak-anak muda ini mengingatkan saya bahwa bahwa saya dulu juga dianggap sama dengan mereka oleh guru-guru saya dulu. Dan saya berjuang keras seumur hidup untuk membuktikan bahwa mereka, orang-orang dewasa ini, SALAH. Dan akhirnya sekarang saya berada di posisi guru-guru saya dulu itu. Saya akhirnya melihat bagaimana perasaan saya dulu dalam diri mereka, anak-anak didik saya.

Saya kagum. Saya banyak belajar malam ini. Dan saya akan belajar lebih banyak seminggu ini, dari apa yang anak-anak didik saya ini lakukan. Saya akan menguatkan niat untuk lebih mengerti mereka, anak-anak muda yang sedang berjuang untuk membuktikan bahwa mereka memang sebaik apa yang menjadi harapan saya.

Serpong Utara, 4 September 2016.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun