Mohon tunggu...
Edy Santosa
Edy Santosa Mohon Tunggu... pegawai negeri -

Guru ndesa, sederhana, suka menulis prosa daripada puisi, suka humor, senang berbagi (terutama berbagi kesusahan), ingin terus belajar dan belajar ( kapan pandainya?). Hehehe.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

[Untukmu Ibu] Sehari di Hari Ibu

22 Desember 2013   09:35 Diperbarui: 24 Juni 2015   03:38 83
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Oleh : Edy Santosa ( 03 )

Alarm HPku berteriak keras-keras, menyuarakan lagu “Bukak Thithik Jos” versi goyang Caesar di acara YKS. Aku tersentak bangkit dari tidur. Menguap sebentar kemudian berniat untuk tidur kembali. Namun sesosok bayangan sudah berada di pinggir tempat tidurku. Tangannya menggoyang-goyang tubuhku.

“Ryan, bangun! Nanti keburu keduluan Ibu bangun,”bisiknya lirih dekat sekali ditelingaku. Aku pun kembali bangun dan mengucek-kucek mataku, mengusir kantuk yang masih bergelayut dengan manja.

“Ayah!” Aku terkejut melihat Ayah sepagi ini sudah membangunkanku. Padahal aku masih berniat meneruskan tidur setengah jam lagi sebelum masuk waktu sholat shubuh.

“Hayo, lupa ya sama rencana kita kemarin?”

“Rencana?” Aku mengingat-ingat.

“Masih muda kok sudah pikun! Hari untuk ibu!”

“Oh, iya! Hampir saja lupa. Maaf, Yah!”

“Sudah, sekarang kamu sholat shubuh dulu sana! Setelah itu kamu cuci peralatan dapur yang kotor! Ayah yang nyuci baju! Oke?”

“Oke, Yah!” Aku dan Ayah melakukan toast dengan tangan kanan.

“Eiit, jangan lupa! Setelah mencuci alat-alat dapur, segera bersiap menanak nasi dan menyiapkan lauk untuk sarapan pagi!”

“Siap, Yah!”

Aku meloncat dari tempat tidur. Ayah sudah lebih dulu beranjak menuju tempat cuci baju. Selesai melaksanakan ibadah wajib pagi itu, aku menuju dapur. Melongok ke tempat cuci piring, hanya ada beberapa buah gelas dan piring yang bertumpuk di sana. Memang di rumahku sudah kebiasaan, siapa yang selesai menggunakan peraalatan dapur harus segera membersihkan setelah memakainya. Jadi ya tak begitu banyak beban ibu mencuci di waktu pagi.

Piring dan gelas kotor segera saja kucuci bersih-bersih. Setelah itu ketemukan sayur yang sudah basi. Kubuang sayur basi itu di tempat sampah basah dan mangkoknya kucuci pula. Beres sudah urusan cuci-mencuci alat dapur. Kini giliranku menanak nasi. Biar laki-laki, aku sudah bisa menanak nasi. Ibu yang mengajari saat hari libur sekolah. Disamping itu, aku sendiri memang berminat belajar.

Saat mencuci beras di tempat cucian, kulihat Ayah dengan susah payah mencuci pakaian. Ayah yang biasanya cuek dengan cuci-mencuci, sekarang sampai mandi keringat. Dan, gerakan menguceknya bikin aku tersenyum geli. Entah bersih atau tidak nanti hasil cucian Ayah.

“Ryan, ibumu sudah bangun belum?” tanya Ayah yang sekarang sedang membilas cucian.

“Belum tuh, Yah! Kan biasanya ambil wudhu disini. Mestinya kalau sudah bangun, Ayah kan ketemu!”

“Eh, iya-ya!” Ayah garuk-garuk kepala dan lanjutnya, ”ibumu kan sedang berhalangan, jadi tidak sholat shubuh!”

“Kan, malah kebetulan kalau ibu bangun kesiangan. Kita jadi agak bebas mengerjakan pekerjaan ibu, Yah!” Ayah tak menjawab, hanya menunjukkan jempolnya sambil tersenyum.

Saat aku beranjak ke dapur lagi, Ayah sedang merendam cuciannya dengan softener pewangi. Bau lavendernya menyeruak memenuhi ruangan. Sepertinya Ayah terlalu banyak menuangkan cairan softener pewanginya. Dasar Ayah!

Sambil menanak nasi, aku menggoreng lauk. Dadar telur dan tahu goreng, menu pagi wajib keluarga kami. Jam tanganku sudah menunjukkan pukul 06.45. Kalau yang melakukan ibu, jam segini semua sudah beres. Tapi, berhubung yang menangani adalah tenaga-tenaga amatir, so pasti molor dari waktu semestinya.

Kulihat sebentar, Ayah sedang menjemur cuciannya.  Cara menjemurnya pun tidak sesuai dengan jurus-jurus menjemur cucian seperti yang diajarkan ibu. Seharusnya jika menjemur, pakaian harus dibalik dulu. Bagian dalam harus diletakkan di luar.

“Agar warna kain luar tidak cepat pudar karena terkena sinar matahari langsung,” kata Ibu dulu waktu mengajariku menjemur pakaian.

Sebagai pelengkap menu sarapan pagi ala aku, kumasak mie instan rasa ayam bawang kesukaan Ayah dan mie goreng kesukaan ibu. Kalau aku sendiri sih, semua rasa mie instan suka. Aku yang masih dalam masa pertumbuhan ini apa sih yang tidak suka. Beres sudah semuanya. Eh, tapi kenapa Ibu belum bangun-bangun juga sih? Jangan-jangan…. Sebuah pemikiran buruk melintas. Tergesa-gesa aku ingin menemui Ayah. Hampir saja aku dan Ayah bertabrakan di pintu masuk.

“Yah…”

“Ryan…” Kami berdua berkata bersamaan.

“Ayah duluan!”kataku kemudian.

“Ryan, jangan-jangan ibumu sakit? Kok jam segini belum bangun-bangun juga?”

“Ryan juga ingin mengatakan itu pada Ayah!”

“Ya sudah, kita lihat saja keadaan Ibu yuk!”

Kami berdua menuju ke kamar Ayah. Ibu masih tiduran dengan berselimut di tempat tidur, walaupun mata ibu sudah terbuka.

“Bu…,” pelan suara Ayah.

“Ibu. Ibu sakit?” tanyaku penuh kekhawatiran. Ibu memandang kearah kami dengan senyum kecil dibibirnya.

“Ayah, Ryan! Maafin ibu, ya! Kepala ibu pusing sekali, tidak sempat membuatkan sarapan untuk kalian!”

“Ah, jangan pikirkan itu, Bu! Ryan sudah memasak sarapan untuk kita semua kok!” kata Ayah.

“Dan Ayah yang mencuci semua pakaian kotor hari ini, Bu!” kataku.

Serempak aku dan Ayah mendekati ibu yang terbaring. Ayah memegang kening Ibu dengan punggung telapak tangannya. Sedangkan aku mencium kening Ibu dengan seribu rasa saying.

“Selamat Hari Ibu, Bu! Ryan sayang ibu!”

“Terima kasih, Ryan! Ibu juga sayang pada Ryan, anak ibu satu-satunya!” Ibu memelukku erat-erat. Setelah itu Ayah pun melakukan hal yang sama denganku. Mengucapkan Selamat Hari Ibu dan mencium pipi ibu.

“Apa tidak perlu Ibu dibawa ke dokter?” tanya Ayah pada Ibu kemudian.

“Ibu tidak apa-apa kok, Yah! Tidak usah khawatir. Buat istirahat nanti juga sembuh. Mungkin pusing bawaan perempuan kalau lagi sedang “dapat”.”

“Baiklah, Bu! Hari ini kan kebetulan hari minggu. Biar nanti Ayah dan Ryan yang mengerjakan seluruh pekerjaan rumah. Ibu istirahat total saja, ya!”

“Iya, Bu! Biar kami yang kerjakan!”

“Terima kasih, Ayah, Ryan!Ibu bangga sekali punya suami dan anak yang penuh pengertian  seperti kalian. Oh, iya! Daftar pekerjaan yang harus kalian kerjakan hari ini sudah ibu tulis. Nih!” Ibu menyodorkan lipatan kertas padaku. Aku pun mengambilnya dan membacanya bersama Ayah. Mata kami terbelalak dan saling bertatapan. Seakan tak percaya dengan deretan tugas yang sudah ditulis oleh Ibu.

Dalam kertas lipatan tertulis: belanja sayur, belanja daging ayam, menyapu halaman, mengepel lantai, membersihkan bak mandi, menyiram bunga, menata buku-buku di ruang kerja ayah, menata buku-buku di kamarku, membersihkan dapur, memasak untuk makan siang, dan membersihkan perabot rumah tangga.

“Se…semua i… ini, Bu?” tanya Ayah.

“Iya, Yah! Tolong, ya! Juga Ryan!” jawab Ibu yang tiduran sambil memejamkan mata.

“I… iya, Bu! Ayo, Yah!”

Sore itu Ibu sudah kembali sehat. Namun, Aku dan Ayah yang gantian terbaring di tempat tidur masing-masing. Badan kami berdua panas-dingin dan  terasa pegal semua. Ibu terpaksa memanggil dokter kenalannya ke rumah untuk memeriksa kami. Kami pun divonis menderita penyakit: KECAPEKAN!!!

SELAMAT HARI IBU

Untuk membaca karya peserta Untukmu Ibu yang lain, silahkan KLIK DISINI

Untuk bergabung bersama grup FB Fiksiana Community silahkan KLIK DISINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun