Masakan Omah Warung Bu Ageng
Oleh: J. Sumardianta*
[caption id="attachment_282689" align="alignleft" width="450" caption="Pintu Masuk"][/caption] [caption id="attachment_282691" align="alignright" width="450" caption="Sederhana Mengundang Selera "]
“Amenangi jaman luwe. Wong sing ora luwe rasah melu-melu luwe. Kudu tetep mangan. Sak begja-begjane wong mangan, isih begja wong sing kelakon mangan ing warung kene. Mulane ojo kapok mangan. Mengko ndak luwe maneh.”
Parodi syair Zaman Edan, Rangga Warsita, Pujangga Jawa terpampang pada baliho yang dipasang di kanopi lorong masuk-keluar Warung Makan Bu Ageng, Tirtodipuran, Yogyakarta. Menjumpai zaman kelaparan. Orang yang tidak lapar tidak usah ikut-ikutan lapar. Harus tetap makan. Tidak ada orang yang lebih bahagia kecuali yang pernah bersantap di warung ini. Itu sebabnya jangan pernah jera makan. Nanti bakal didera kelaparan lagi. Begitulah kira-kira arti harafiah plesetan syair Zaman Luwe di warung milik keluarga aktor Butet Kartaredjasa.
Warung Bu Ageng unik. Diaadaptasi dari Pak Ageng---tokoh rekaan sastrawan Umar Kayam, almarhum, dalam buku Mangan Ora Mangan Kumpul. Seperti hendak melawan kecenderungan umum. Berlokasi bukan di sentra-sentra kuliner Yogyakarta: Gejayan, Barek, Jakal, Adisucipto, Kusuma Negara, Sagan, Mangkubumi, Malioboro, Kranggan, Jetis, Terban, Kricak dan Kota Baru. Warung Bu Ageng terletak nun di selatan kota Yogyakarta. Bilangan Tirtodipuran dan Prawirataman merupakan kawasan turisme manca negara dan galeri seni.
Arsitektur bangunannya sangat khas Jawa. Bila perabotan warung atau restoran seumumnya dibuat agar tamu tidak betah, penataan meja dan kursi bersahaja di Warung Bu Ageng justru dirancang agar pelanggan kerasan duduk berlama-lama. Lukisan kaca “Kawasan Bebas Korupsi”, “Urip Mung Mampir Guyu”, dan “Tutwuri Hanggajuli” serta gambar para tokoh Jogja tempo dulu, seperti HB VII dan HB IX, Ki Ageng Suryomentaraman, Basiyo, Pak Harto, Pak Dirman, Pak Besut, Romo Zoetmulder, Mgr Soegijapranata, Bagong Kussudihadjo, Romo nDung, dan Prof. Sartono menjadi hiasan khas warung ini. Warung-warung lain hiasan dindingnya kalender promosi aneka perusahaan. Semakin banyak kalender terpasang di tembok, konon, itu pertanda warungnya laris.
Butet Kertaredjasa, kecuali pengecer jasa akting juga pemangsa makanan enak. Tempat-tempat wisata lidah kegemaran Butet di antaranya: Sate Klathak Kang Bari, nJejeran, Pleret Bantul, Soto Sumuk Terban, Bakso Bethesda, Brongkos Warung Ijo Tempel dan Brongkos Handayani Alun-Alun Kidul, Bakmi Pak Rebo Kintelan, dan Ayam Panggang Anggraeni Klaten. Bu Ageng, istrinya jago masak. Kombinasi suka makan enak dan istri pintar memasak itulah motivator Warung Bu Ageng. Di Warung Bu Ageng sama sekali tidak ditemukan foto-foto Butet. Dia ingin membangun perasaan bangga pada produk istrinya. Pelanggan datang bukan konsekuensi nama besar Butet melainkan karena masakan Bu Ageng yang memang miroso, nyamleng, dan numani.
Sajian Bu Ageng khas. Beda dengan menu warung pada umumnya. Bu Ageng meracik sendiri masakan rumahan seperti Eyem Penggeng (ayam panggang bumbu areh), Ayam Nylekit, Sambal Kutai, Nasi Campur (lidah sapi masak semur, terik daging sapi, paru ketumbar, baceman kambing), dan sayur lodeh. Menu spesial, tidak setiap hari ada karena bahannya susah didapat, Jambal Santan, Sidat Masak Kecap, Pangkal Lidah (Elek-Elekan), Sotong (Cumi-Cumi) Gelap, Patin Goreng Sambal Kweni, dan sayur Terong Asam. Makanan ringan: Pisang Panggang Kayu Manis, Bakwan Ageng, Bubur jagung, dan Bubur Duren Mlekoh. Minumannya, Teh Rempah, Kopi Clekot, Es Kopyor Durian, dan Es Jahe Soda. Baca daftar menunya langsung terbayang keunikannya.
Bu Ageng tidak menjajakan Soto, Bakso, Sop Buntut, Bubur Ayam, Brongkos, Sate, Bakmi, dan Nasi Goreng. Sedari awal Butet dan istrinya tidak hendak merebut rezeki warung-warung penjaja menu tradisional yang bertebaran di sekujur Yogyakarta. Keluarga Butet mengendalikan diri dan menghindari mentalitas serakah. Seperti salah satu tema koleksi lukisan kacanya, Butet ora arep nguntal donya. Tidak hendak menelan atlas dunia bulat-bulat.
Bila pas tidak sedang mbarang (ngamen) di luar kota, pelanggan bisa mengudap rasa sembari ngobrol mat-matan (bercengkerama) dan guyon maton pari keno (bersenda gurau) dengan Butet di Warung Bu Ageng. Butet membantu mempromosikan usahan istrinya melalui twitter. Sangat menggelikan, memperhatikan kicauan Butet. Banyak orang tak mau kekasar ingin panduan rute menuju lokasi. Calon pandemen dari luar kota familiar belum familiar dengan kawasan Tirtodipuran.
Calon pelanggan baru banyak yang kecelik. Setiap Senin Warung Bu Ageng tutup. Biar karyawan bisa punya banyak waktu beristirahat. Supaya keluarga Butet lebih bisa menikmati hidup. Warung Bu Ageng memang menyengat aroma living in the moment-nya. Sungguh-sungguh warung pelancong dalam arti alon-alon waton sak kelakon-kelakone. Serba pelan yang penting terlaksana. Ora kemrungsung. Tidak tergopoh dan tergesa.
Di Warung Bu Ageng waktu seolah berhenti karena pelanggan bisa menikmati sari pati hidup sampai suapan dan tegukan terakhir. Jogja itu kota nguler kambang. Semua harus dinikmati lama dan perlahan. Bukan kota yang berpacu kencang mengejar absurditas.
Butet, dalam perspektif model Grow With CharacterHermawan Kartajaya (2010), termasukaktor berkarakter dan kharismatik karena memiliki excellence, profesionalism, dan ethics. Semangat inilah yang ditularkan dalam mengembangkan usaha keluarga. Dalam konsep positioning, differentiation, dan branding (PDB), excellence identik positioning. Excellence mengacu pada hasrat mencapai standar lebih unggul. Warung Bu Ageng perpaduan kecintaan pada pusaka kuliner Indonesia dan ketekunan meracik bumbu alamiah. Kendati warung, toilet Warung Bu Ageng bersihnya tak kalah dengan toilet hotel bintang 5.
Profesional karena mengarah pada empat passion---for knowledge, business, service, dan people. Profesional berkaitan erat dengan diferensiasi. Pemilihan lokasi, arsitektur bangunan kayu, dan daftar sajian Warung Bu Ageng dirancang berdasar keempat passion sehingga memiliki faktor pembeda dari warung-warung seumumnya. Seperti ajaran Ki Ageng Suryomentaraman, “Nek kowe mung golek iwak, kowe bakal oleh iwak. Nek kowe golek sanak, kowe bakal oleh sanak, ya oleh iwak. Kalau kamu hanya mencari ikan, kamu hanya dapat ikan. Kalau kamu mengutamakan persaudaraan, kamu akan dapat saudara yang akan memberimu ikan.” Keluarga Butet tidak melulu cari untung melainkan menghidupi kultur paguyuban yang mulai pudar digerus kalatida dan kala bendu---zaman jahiliah.
Ethics berarti mengedepankan budi pekerti luhur. Ethics berkaitan dengan brand. Warung Bu Ageng brand berkarakter karena ugahari. Berusaha menjauhi mentalitas serakah. Tangga pintu masuk dilengkapi fasilitas bagi kaum diffable. Setiap senin tutup. Tidak ingin menjadi pesaing terdekat bagi warung-warung lainnya. Tak ubahnya kapal pesiar, Warung Bu Ageng hendak mengangkut para pelancong pesiar di samudera biru (blue ocean) yang tenang. Bukan berkompetisi keras di laut merah bersimbah darah persaingan.
Parodi syair Pujangga Rangga Warsita di lorong masuk-keluar warung sudah cukup memberi gambaran bahwa warung ini visioner: dirancang berkelanjutan buat menyantuni generasi mendatang. Segala yang tidak difokuskan pada keluarga hanya akan hilang sia-sia. Butet Kartaredjasa belajar dari kesalahan para seniman besar sebelumnya. Tak mau hanya mewariskan perselisihan dan kekerasan dalam rumah tangga. Egoisme sempit kepentingan jangka pendek di masa jaya dengan membelanjakan uang sekedar buat klangenan dia singkirkan.
Warung Bu Ageng investasi jangka panjang agar istri dan ketiga anaknya belajar mandiri dan ulet lepas dari bayang-bayang suami dan ayah mereka. Seniman tetap harus punya manajemen hidup, tidak boleh awut-awutan. Mentalitas berkelimpahan, bukan kecingkrangan, itulah yang hendak diwariskan Butet bagi keluarganya.***
Indonesia Travel
*J. Sumardianta, guru SMA Kolese de Britto Yogyakarta.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H