Mohon tunggu...
Guritno Soerjodibroto
Guritno Soerjodibroto Mohon Tunggu... -

graduated from ITB Bandung and ITC the Neteherland. Focusing on community empowerment through assist local government for being more sensitive and respond to people needs. Currently working for the World Bank project.

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Memimpin dengan Hati

2 Februari 2011   04:59 Diperbarui: 26 Juni 2015   08:58 94
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pemimpin hasil demokrasi

Apabila yang dikejar adalah kata ‘pemimpin’ pada era demokrasi seperti ini tidaklah sukar karena jumlah suara lah yang menjadi penentunya. Bukan hal yang tidak baik, tetapi juga belum satu satunya yang terbaik. Memenangkan persaingan untuk menjadi pemimpin lewat sebuah proses demokrasi (baca: pemungutan suara) belum sepenuhnya menjamin akan terjadinya sebuah tatanan pengaturan yang membawa hasil yang baik. Yang terpilih menjadi pemimpin belujm tentu mampu memimpin walupun sudah jelas mempunyai suara terbanyak, apalagi bila dituntut lebih jauh yakni memimpin dengan hati.

Artinya apa ?

Setelah proses demokrasi selesai, masih banyak pekerjaan yang harus dilakukan, terutama belajar dan belajar. Belajar bagaimana melihat warga yang akan dipimpin, belajar memahami infrastruktur organisasi, belajar memahami aturan yang berlaku dan belajar mengendalikan diri agar selalu mengutamakan pelayanan kepada warga yang paling rentan dari segi social, ekonomi, politik dan territorial.

Menjadi diri yang terbuka akan banyak membantu dalam proses belajar ini. Menerima pengetahuan dari pihak manapun, situasi apapun dan kejadian apapun akan banyak membantu proses belajar memahami dan menjadi lebih dari sekedar rata-rata manusia biasa.

Pemimpin bangsa.

Seorang pemimpin bangsa adalah seorang yang selayaknyamempunyai kejelasan cara memimpin dan membawa rakyatnya untuk menjadi lebih baik dari segi segalanya.Bukan sekedar pangkat dan jabatan yang disandang dan menjadikan dirinya lebih baik dari pada rakyatnya, tetapi lebih dari itu harus mampu membangun fundamen kehidupan bangsa yang dipimpinya untuk menjadi lebih kokoh. Dalam tingkatan apapun, seperti inilah kriteria seorang pemimpin .

Dia harus bisa dan mampu menjadi kreatif dalam situasi dimana orang rata rata tak mampu mengatasi. Sementara prasyarat dasar untuk kreatif adalah dia harus memahami dan merasakan keadaan yang terjadi. Setelah itu barulah dituntut sebuah keberanianbahkan untuk berbeda dengan pihak lain demi untuk mengupayakan agar upayanya dapat terwujud.Banyak syarat untuk menjadi pemimpin yang mampu memimpin yang belum terefleksikan pada situasi ke indonesiaan saat ini.

Dalam situasi seorang Presiden di Negara Indonesia kini,pembangunan perlindungan melalui penciptaan (yang distilahkan) ‘ring satu’, ‘ring dua’ dan seterusnya hanya menjadikan proses belajar memahami situasi riil menjadi terdistorsi. Padahal salah satu tugas pokok yang ada adalah belajar dengan benar. Gambaran ini pasti dapat disangkal dengan berbagai argument, tetapi bila menggunakan kejujuran sebagai dasarnya, hal itu pastilah tidak dapat disangkal. Pada situasi lain, keberadaan seorang juru bicara saja pada hakekatnya sudah menambah layer lapisan topeng muka, karena rakyat menjadi tidak tahu apakah semua yang keluar dari mulut seorang juru bicara sepenuhnya mempunyaitekanan, perhatian dan substansi yang sama dengan aslinya ? Tidak ada yang dapat mengetahui. Yang diketahui adalahsemakin banyak lapisan yang dibangun, semakin besar peluang distorsi atau penyimpangan makna dari sumbernya. Belum lagi kalau individu ‘perantara’ tadi adalah seorang opportunist.

Kasus yang nyata untuk pembelokan atau deviasi makna ini mudah sekali dilihat pada sebuah proses pelatihan komunikasi dimana ada sepuluh atau lebih orang secara berjajar untuk secara bergilir menyampaikan kalimat yang diterima dariorang pertama. Hasilnya mudah ditebak terhadap apa yang terjadi pada orang yang terkhir, yakni kalimat yang diterima sudah tidak sama dengan kalimat yang disamapaikan oleh orang pertama. Terjadi pembelokan lewat interpretasi dan percepsi masing masing individu yg terlibat. Ini juga akan terjadi pada layer-layer di ruang kepresidenan.

Didepan dan berani :

Ketika seorang pemimpin harus lead the team maka sebenarnyalah dia harus di depan, dan itu berarti dia harus berani menghadapi rintangan atau bahkan cemooh. Untuk itu seorang pemimpin harus berangkat dengan hati dan bukan interest pihak lain atau bahkan ‘ niat lain dibelakang ’. Motto yang harus diterapkan disini adalah : Ketika berjalan benar, akan sangat mudah bagi kita mempertahankan. Sebaliknya bila kita ‘salah’, sangat sulit bagi kita untuk yakin pada langkah kita. Maka, BENARlah untuk TIDAK memperSULIT diri kita.

Bagaimana supaya kita Benar ?

Untuk benar sangatlah tidak sulit sepanjang hati kita memang menghendakinya. Akan tetapi bila hati kita diselimuti oleh keinginan keinginan lain atau pesanan, sudah dapat dipastikan akan ada yang tidak mendapat perhatian semestinya.

Untuk benar, berangkatlah dari nurani yang dirasakan. Pertanyaan pokok ke nurani kita ‘Apa yangsaya dapatkan ?”. Kalau jawaban pertanyaan ini membuat anda berhitung, banyak kemungkinan langkah ini tidak sepenuhnya berangkat untuk tujuan yang benar. Bahkan kala pertanyaan itu muncul dibenak anda, sudah memberi indikasi kalau ada ‘desain’ tertentu dalam langkah yang mau diambil yang cenderung untuk memperhatikan diri sendiri dari pada orang lain.

Pemahaman terhadap keimanan yang rata rata seringkali membawa kita pada kondisi kenyataan secara harafiah bahwa “Tuhan tidak tampak sementara rakyat ‘jauh’ “. Pada kondisi seperti ini yang terjadi adalah tidak akan ada satu pegangan yang kuat untuk membawa nurani sendiri kedepan apalagi tidak didukung dengan sebuah keberanian. Yang terjadi adalah suara ‘ orang dekat’ lah yang akan bermain dan mengisi keputusanyang akan diambil. Bila ini yang terjadi, lagi lagi peluang untuk terjadi pembelokkan akan sangat besar (ingat : sifat opportunist akan selalu ada di diri manusia siapapun dia termasuk orang dekat tadi).

Supaya menjadi pemimpin dengan keputusan yang benar , beranilah untuk ‘sendiri – kesepian’ diantara masalah yang dihadapi dan bermainlah dengan nuraninya sendiri tanpa harus mendengar suara lain siapapun dan dari manapun sumber suara itu untuk mengambil sebuah keputusan. Bila ukuran akibatnya adalah untuk kebaikan orang lain dan banyak, pertahankanlah nurani itu didepan siapapun. Mungkin hasilnya akan memberi sinar yang berbeda daripada seorang pemimpin yang terlalu sering berlindung dibalik berbagai macam keduniawian.

Phenomena yang terjadi

Ketika terjadi blunder dan terlihat salah dimata rakyat, dan menanggapinya dengan menutupi kesalahan tersebut, maka yang terjadi dapat diibaratkan sebagai memendam bara dalam sekam, ibarat memasang bom waktu yang kalau lupa menjaganya dengan baik dapat meledak. Padahal, apabila digunakan konsep bahwa sebuah kesalahan itu adalah sebuah kewajaran yang tidak diharapkan, sebenarnya pengakuan dan ditambah upaya perbaikan yang nyata akan mampu segera menyembuhkan ‘luka’ akibat kesalahan yang ada. Keterbiasaan memandang secara dikotomi bahwa ada pihak yang ‘kuat’ dan ada pihak yang tidak mampu menjangkau akses, menimbulkan cara berpikir untuk tidak perlu mengindahkan semua orang. Andaipun ada kesalahan yang telah dilakukan, kami pasti akan dapat menyelesaikanya sendiri. Secara akumulasi hal ini telah terjadi dan semakin mengkristal menjadi callous – ada penimbunan rasa ba’al. Sensitivitas menjadi jauh berkurang, meski didepan mata terlihat kemiskinan yang semakin nyata.

Kemiskinan yang dirasakan masyarakat dengan sebenar benarnya terjadi untuk saat ini banyak disangkal dengan berbagai cara menurut versinya sendiri

Yang terjadi adalah jangan sampai kejelekan terjadi didepan presiden meskipun kejelekan itu dihadapi langsung oleh masyarakat. Para pembantu Presiden lebih nyaman menyenangkan presidenya dari pada rakyatnya. Inisemua karena rasa dan perhatian yanag kurang terhadap rakyatnya serta pandangan bahwa rakyat berada ditempat yang jauh .

Berbagai lapisan di kepemrintahan sudah ada gejala untuk menerapkan konsep instantly – yang penting terlihat baik dengan segera. Ujung ujungnya …semua untuk ‘bapak’ bukan untuk rakyat.Pada kasus tertentu misalnya pembuatan sebuah kebijakan , criteria yang digunakan adalah cepat tersusun dan segera mendapat pengesahan Presiden bila hal tersebut berupa sebuah Keppres. Tidak perlu ditakutkan berbagai implikasi dalampelaksanaanya , asal Presiden sudah menandatangani tidak boleh lagi diralat karena Presiden punya peluang untuk marah besar. Dan kondisi ini secara tidak langsung mempengaruhi atmosfir di seluruh jajaran kepemrintahan, bagaimana bawahan bekerja sama dengan atasan strukturalnya. Yang penting cepat dan di terima pimpinan adalah sebuah prestasi.

Ini jelas cukup menyedihkan karena pada akhirnya saat seorang pemimpin tidak pernah turun ke lapangan maka untuk membaca keadaan lapangan hanyalah berdasarkan laporan bawahan alias laporan laporan statistic yang mengenakkan. Demi seorang pemimpin, maka laporan tidak boleh jelek. I ni yang sedang terjadi di Indonesia.

Harapan yang terekam

Untuk semua kejadian ini hanya satu kata yang perlu dilaksanakan yakni ‘kejujuran ‘ dan ‘tindakan nyata’. Bertatap mukalah secara berani dengan rakyatnya, dan katakan apa yang mampu dilakukan. Manfaatkan suara rakyat untuk menghadapi peran anggota Dewan yang semakin membingungkan .

Rakyat tidak tahu harus memperbaiki lewat mana terhadap kondisi ini. Seandainyapun tahu, rakyat tidak punya otoritas formal, karena instrument demokrasi yang dijalankan saat ini hanyalah untuk ‘meneriakkan suara’ yang tidak harus didengar.

Dari semua peluang yang ada, maka seorang Presiden lah yang paling memungkinkan untuk mengobati semua kejadian dan gejala semua ini. Hanya dua kata ‘jujur dengan kata hati’ dan ‘berani melakukan tindakan nyata’.

Guritno Soerjodibroto

guritno3@gmail.com

Mohon tunggu...

Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun