Dimana2 yang namanya smoking room itu kayak etalase warung Padang buat perokok. Bikin ngiler, sehingga membuat perokok tertarik untuk mampir dan buang hajat di situ. Ya, merokok adalah aktivitas buang hajat, sesuatu yang harus ditunaikan kayak berak di WC. Oleh karena itu jangan buang hajat sembarangan karena kebutuhan itu tidak semata2 biologis, tapi juga sosial. Ada pranatanya. Ada etikanya.
Jika WC di mall2 maupun bandara saja letaknya dibikin tersembunyi supaya tidak mengganggu pandangan pengunjung, apalagi seharusnya bilik2 rokok alias smoking room. Tidak mungkin di dunia ini seorang arsitek bangunan meletakkan ruang toilet di pintu masuk sebuah mall atau bandara. Apalagi di tengah2 atau spot2 strategis dimana pusat perhatian pengunjung berada. Itu hanya terjadi di rumah tipe RSS, dimana suara kentut pun dapat diperdengarkan langsung di ruang tamu.
Bandara tentu saja bukan RSS. Modal besar dengan konsep desain artistik yang mahal dibutuhkan untuk membangun sebuah bandara lengkap dengan desain interior yang diharapkan akan membuat betah para pengunjungnya. Setiap kali terbang dan mendarat di bandara yang belum pernah saya kunjungi, saya selalu menyempatkan diri untuk melihat2 keindahan arsitektur bandara yang khas sambil menebak2 konsepnya, memperhatikan bagaimana mereka mengatur pergerakan orang, dan melihat2 etalase toko2 di dalam bandara setengah mall itu.
Selain sewa parkir pesawat, bandara juga men-charge tenants-nya, para pedagang makanan or suvenir dengan biaya yang tidak murah. Di samping itu, bandara juga mengutip pungutan, yang dikenal sebagai retribusi bandara, yang jumlahnya bervariasi per bandara. Tentu sebagai pengunjung kita berharap dapat menikmati kenyamanan ketika menunggu giliran boarding atau ketika datang.
Itu tadi gambaran bandara di luar negeri. Bagaimana dengan bandara di dalam negeri? WC rokok alias smoking room tempat perokok buang hajat justru bertebaran dimana2, di luar bandara, di ruang tunggu, bahkan di koridor2 sebagai WC tidak resmi. Bilik merokok tersebut merusak keindahan arsitektur bandara dan membuat pengunjung seperti saya dan jutaan lainnya kepingin cepat2 enyah dari bandara ini.
Perokok beretika tahu kapan saat dan tempat yang tepat untuk buang hajat. Tapi penyediaan WC rokok alias smoking room, akan menggoda perokok beretika sekalipun untuk buang hajat. Akibatnya, selain mengganggu pemandangan, bilik2 tersebut justru menebar asap racun rokok bagi pengunjung lain yang bukan perokok. Bandara bagus2 jadi kayak terminal bis antar kota, dimana2 orang merokok dan buang puntung sembarangan. Smoking room yang awalnya di bilik, tiba2 melebar ke resto, lounge, bahkan toilet akibat perokok yang ekspansionis.
Pengelola bandara baru umumnya pingin segera mencapai BEP. Nafsu itulah yang kemudian membuat konsep arsitektur dsb buyar karena mereka menyewakan lahan ruang bagi perusahaan rokok untuk beriklan sambil menyediakan WC rokok. Duit masuk, kenyamanan pengunjung dikorbankan. Mental pingin cepat dapat untung sebesar2nya ini harus dibongkar. Bandara harus steril dari asap rokok karena mengganggu pemandangan, jorok dan bau. Membuat kapok orang berkunjung, apalagi jika pesawatnya langganan delay.
So, sebelum subuh bandara harus kita kuasai. Jreng!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H