Waktu saya kembali dari kampung halaman dari Desa Nalela Kecamatan Porsea Kabupaten Toba Samosir (TOBASA) setelah 2 minggu berkeliling beberapa daerah seperti Simalungun, kota Siantar, Kabupaten Samosir seorang ibu di dalam bus yang saya tumpangi mengajak saya berbincang-bincang. Ibu itu memiliki anak 4 orang, 3 laki-laki dan 1 perempuan. Ibu ini hendak ke Medan untuk mengantarkan belanja anak bungsunya yang kuliah di Universitas Sumatera Utara (USU). Tiga abangnya sudah lulus ITB, USU dan satu lagi tidak lulus dari Universitas HKBP Nommensen karena bermasalah di kampus. Kegagalan salah satu anaknya sungguh menyakitkan baginya. Anaknya yang lulusan ITB sering mengingatkan agar jangan terlalu memikirkan kegagalan anaknya. Bukankah 3 lagi anakmu baik-baik, kata anak sulungnya menghibur ibunya.
Setelah cukup lama berbincang-bincang, sampailah kami berbincang-bincang soal Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) langsung. Ibu itu bertanya, “sebagai anak rantau yang tinggal di Jakarta, ise do pilliton (siapa yang akan saya pilih) tanggal 9 Desember 2015?”. Saya menjawab “ saya hanya bisa menjabarkan ketiga calon sepanjang pengetahuanku”. Ibu itu mengangguk seolah tak sabar menunggu penjabaranku.
Kita mulai dari pasangan nomor urut 3 yaitu Monang Sitorus/Chissie Sagita Hutahaean. Saya tidak merekomendasikan pasangan Monang Sitorus karena Monang Sitorus telah pernah menjadi terpidana korupsi. Kalau di kampung saya di Desa Nalela, pencuri cangkul atau ayam saja disingkirkan, apalagi mencuri uang negara. Monang Sitorus telah bermasalah dengan hukum. Betul bahwa ada kesempatan untuk memperbaiki diri tapi kita akan sibuk menyelesaikan persoalan masa lalunya karena “lawan” politiknya akan membawa ke pengadilan seluruh masa lalunya yang cukup kelam. Kelemahan lain adalah tidak ada partai pendukung yang mendorong dia untuk mendapatkan dana-dana dan sumber kekuatan lain untuk membangun Tobasa. Terutama alokasi dana anggaran dari pusat pemerintahan Jakarta. Apalagi jika nanti terjadi konflik kepentingan dengan partai politik. Saya melihat, ada salah kaprah pemahaman soal ada waktu untuk bertobat. Dalam pemahaman iman kristen, ketika dosa atau kesalahan diakui dihadapan Tuhan, maka Tuhan mengampuni secara total. Dosa yang besar berubah menjadi hidup yang kudus setelah Tuhan mengampuni. Dalam kehidupan berbangsa dan bernegara tidak. Semua kesalahan masa lalu harus dipertanggungjawabkan secara hukum. Akibatnya, andaikan Monang Sitorus terpilih jadi Bupati maka habis waktu untuk mempertanggungjawabkan masa lalunya.
Kalau pasangan nomor 2 yaitu Poltak Sitorus/Robinson Tampubolon. Pasangan ini tidak ada latar belakang birokras ataupun politik atau organisasi apapun yang dikenal umum. Pasangan ini tiba-tiba muncul begitu saja. Tidak enaknya, ketika muncul nama Poltak Sitorus isu yang santer di dengar adalah isu “membeli” partai. Seluruh rakyat nusantara mengetahui kasus Partai Gerindra dimana ketua DPC Gerindra Toba Samosir didepak jadi Calon Bupati karena tidak mau membayar partai. Isu tak sedap mengatakan bahwa Poltak Sitorus membayar partai Gerindra sehingga pupus harapan Asmadi Lubis. Ini preseden buruk bagi kehidupan demokrasi. Isu lain yang kita dengar dengan pasangan ini adalah bahwa dana kampanye didukung oleh rentenir dari Jawa Barat. Anehnya, isu yang beredar ini tidak ada klarifikasi dari pihak mereka. Di dunia maya isu santer beredar. Isu lain adalah bahwa Poltak Sitorus adalah aliran Kharismatik yang berusaha mengikis budaya. Aliran Kharismatik yang menentang budaya tentu saja tidak cocok dengan cita-cita nenek moyang kita agar budaya kita harus kita jaga dan kembangkan. Budaya yang kita miliki seperti memakai ulos sejatinya kita perkenalkan ke seluruh dunia, bukan dikikis. Akibatnya, kita hanya memakai budaya lain yang sebetulnya tidak lebih baik dari budaya kita. Padahal gereja dan budaya saling mendukung merupakan diskusi yang sudah usang. Kita sudah simpulkan bahwa kita memuji Tuhan dengan budaya kita merupakan hal yang bijak. Sepanjang pengamatan saya, isu yang beredar di beberapa Desa adalah pasangan ini tidak intensif melakukan pertemuan-pertemuan untuk pencerahan politik. Konon, hanya mengandalkan uang. Isu ini harus ditindaklanjuti Panwaslu. Sahabat saya Junpiter Pakpahan selaku petugas Panwaslu harus serius menindaklanjuti isu ini.
Bagaimana dengan pasangan nomor 1 Darwin Siagian/Hulman Sitorus?. Selama ini saya kurang tertarik dengannya, karena saya mendengar hampir 2 tahun beliau sosialisasi. Darwin Siagian adalah pensiunan Pegawai Negeri Sipil di Dinas Pekerjaan Umum (PU). Darimana uang sosialisasi sementara Darwin Siagian adalah pensiunan PNS dari wilayah terbelakang negeri ini?. Tidak hanya itu, pernah saya ketemu dia di Jakarta. Pertemuan pertema kesannya dia tidak ramah. Harus kita memulai pembicaraan. Biasanya, kalau orang mau jadi Bupati yang tidak ramah berubah menjadi ramah. Orang yang sombong tiba-tiba kelihatan baik. Beberapa kali ketemu dia sikapnya dingin. Tidak menyenangkan.
Kesan saya itu berubah ketika saya menghadiri acara pemberangkatan (paborhatton) pasangan Darwin-Siagian yang dihadiri Perkumpulan Masyarakat Batak di Bala Saribu Desa Patane hari Rabu tanggal 18 November 2015. Ketua Perkumpulan Masyarakat Batak di Papua dan Papua Barat mengatakan bahwa organisasi kami mengutusnya untuk membangun kampung halaman (bona pasogit). Darwin Siagian telah sukses 30 tahun membangun infrastruktur di Papua, maka bona pasogit juga harus dibangun pak Darwin Siagian kata ketua organisasi ini yang bermarga Sipayung. Sipayung mengatakan, “saya berasal dari Simalungun, tetapi saya ikut mendukung pak Darwin Siagian untuk membangun Tobasa”. Lebih lanjut Sipayung mengatakan bahwa kami tidak akan ikut proyek di Tobasa andaikan Darwin Siagian-Hulman Sitorus menang. Kami cukup bekerja di Papua saja dan pak Darwin Siagian bekerja untuk membangun Tobasa. Sipayung beserta puluhan rekan-rekan pengurus organisasi perkumpulan Batak di Papua ikut menyampaikan pendapat.
Acara ini sangat istimewa karena biasanya, pendukung dana calon Bupati/Walikota di seluruh Indonesia tidak mau menunjukkan identitasnya. Lain halnya dengan Darwin Siagian, dia didukung Komunitas tempat dia mengabdi sekitar 30 tahun. Teman sekerjanya 30 tahun di pemerintahan di Papua meyaksikan prestasi Darwin Siagian di Papua. Waktu 30 tahun cukup menunjukkan integritas, kapabilitas dan profesionalitas seseorang. Dan, disaksikan orang-orang di sekitarnya. Jarang sekali calon Bupati/Walikota mendapat kesaksian yang tulus seperti yang ditunjukkan saudara kita masyarakat Batak di Papua. Model yang mereka tunjukkan ini menjadi model dukungan politik yang sehat. Sekitar 200 orang masyarakat Papua hadir untuk memberikan dukungan. Ini Luar biasa. Ongkos mereka saja habis rata-rata Rp.10.000.000/orang. Jika 200 orang itu berarti habis Rp 2 milyar. Dukungan moral jauh lebih penting dari dukungan dana. Semuanya mereka berikan sebagai bukti kecintaan mereka ke Tobasa. Nampaknya, mereka sadar Tobasa tidak butuh uang tapi kebutuhan yang terpenting adalah pemimpin. Tobasa membutuhkan pemimpin yang hebat. Sekali lagi, ini model politik yang baik dan harus ditiru.
Tobasa di Mata Anak Muda Jakarta.
Selain keistimewaan model masyarakat Papua yang mendukung Darwin Siagian dan Hulman Sitorus: Ada 3 politisi muda yang hadir dalam kampanye akbar di Balige Sabtu 21 November 2015. Hadir politisi muda PDIP Maruarar Sirait, politisi Partai Nasdem Martin Manurung dan Prananda Surya Paloh. Prananda Surya Paloh yang kini menjadi Anggota DPR RI menjadi juru kampanye Darwin Siagian dan Hulman Sitorus. Padahal, Prananda Surya Paloh terpilih menjadi anggota DPR RI dari Daerah Pemilihan Sumut I yang meliputi Kota Medan, Deli Serdang, Serdang Bedagai dan Kota Tebing Tinggi. Prananda Surya Paloh mengatakan, saya tertarik dengan pribadi Darwin Siagian, karena itu kita akan menangkan pasangan ini.
Lebih menarik lagi adalah 2 politisi muda yang sudah dikenal secara nasional adalah Martin Manurung dan Maruarar Sirait. Klaim organisasi Nairasaon (Manurung, Sitorus, Sirait, Butar-Butar) mendukung Poltak Sitorus dan Robinson Tampubolon terbantahkan. Organisasi yang mengatasnamakan 4 marga ini hanyalah mengandalkan kelompok tertentu yang memiliki kepentingan. Diharapkan oragnisasi ini belajar kepada yang muda yang cerdas memainkan peran politik dan fungsi sosialnya.
Martin Manurung dan Maruarar Sirait lahir di Jakarta tetapi sangat peduli, perhatian dan memikirkan tanah leluhurnya. Kesadaran dan kepedulian kedua anak muda ini juga harus jadi model bagi keturunan masyarakat Batak. Mereka berdua telah sukses di bidang pendidikan dan memberikan apa yang dimilikinya untuk kebaikan bangsa dan negara, dikhususkan perhatiannya kepada tanah leluhurnya. Terutama Martin Manurung yang lulusan ekonomi UI dan S2 dari Inggris secara rutin menyapa masyarakat Sumut, khususnya Tobasa asal leluhurnya. Kehadiran 2 tokoh politik muda yang brilian ini menjadi anti tesis anak muda perantau yang mengatakan “Sudah Tak Kentara Lagi Batakku” atau “ Aku Tak Lagi Mengenal Rimbang”. Mereka berdua tidak hanya kentara Bataknya tapi berjuang untuk membangun identitas bahwa masyarakat Batak itu hebat. Budayanya harus dikembangkan dan diperkenalkan kepada dunia. Itulah hakikat manusia pejuang yang menjaga identitasnya. Mereka berdua dalam istilah tokoh Batak populer kini disebut Batak “keren”. Batak “keren” itu mendukung sepenuh hati Darwin Siagian dan Hulman Sitorus. Pilihan ada sama inang, tambahku. Tak terasa, kami sudah sampai di sebuah rumah makan yang mengandalkan ikan mujahir bakar di Pematang Siantar.