Mohon tunggu...
Gurgur Manurung
Gurgur Manurung Mohon Tunggu... Konsultan - Lahir di Desa Nalela, sekolah di Toba, kuliah di Bumi Lancang Kuning, Bogor dan Jakarta

Petualangan hidup yang penuh kehangatan

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Nasib Lingkungan Hidup Pasca Pilpres 2024

5 Desember 2023   12:28 Diperbarui: 5 Desember 2023   12:40 362
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber : www.jobscdc.com

              Ketika Jokowi terpilih  menjadi Presiden tahun 2014, Jokowi langsung  menyusun kabinetnya dan  menggabungkan  Kementerian Lingkungan Hidup (KLH) dengan Kementerian Kehutanan. Gabungan dua Lembaga itu menjadi  Kementerian  Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK).  Kementerian Lingkungan yang sejatinya diperkuat tetapi Jokowi  justru melemahkan fungsi pengawasan lingkungan dengan cara menggabungkan dengan kehutanan. Bagaimana dampak penggabungan KLH dengan Kehutanan terhadap kelestarian lingkungan?

              Kebijakan Jokowi meleburkan  KLH dengan kehutanan  mengundang reaksi publik terutama  aktivis lingkungan ketika itu.  Dunia yang  diancam pemanasan global (global warming)  sejatinya  prioritas program Presiden adalah menyelamatkan lingkungan hidup.   KLH yang berfungsi untuk pengawasan   digabungkan dengan  pelaksana  Pembangunan  yaitu kehutanan. Sejatinya  KLH harus kuat mengawasi kehutanan, perikanan dan kelautan, pertanian dan semua aspek pembangunan apakah  sesuai dengan konsep pembangunan berkelanjutan (sustainable development)  atau tidak.

              Dalam implementasinya hampir 10 tahun kepemimpinan  Jokowi  maka fungsi pengawasan terhadap lingkungan dari pusat hingga daerah nyaris tidak ada.  Puncaknya, polusi udara di Jakarta  mengancam anak manusia karena polusi udara yang teramat pekat. Dari hasil pantauan bahwa polusi udara itu mengancam  kesehatan manusia.  Tiap hari korban  sakit akibat  polusi udara terus meningkat.  Presiden Jokowi memerintahkan Menteri Koordinator  Maritim dan Investasi  Luhut Binsar Panjaitan  untuk menangani polusi udara itu. Menangani masalah lingkungan dengan cara parsial. Padahal, permasalahan lingkungan harus diatasi secara holistik terintegratif.

              Indonesia adalah  negara yang meratifikasi konsep Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB)  tentang  pembangunan berkelanjutan.  Seluruh dunia sejak  Konfrensi Tingkat Tinggi (KTT)  Bumi di Rio de Jeneiro tahun 1972  sangat menyadari dampak negatif  pembangunan.  Dampak negatif itu  harus dikendalikan.  Kesadaran itu  dimiliki  bangsa Indonesia sejak Orde   Baru (Orba) yang dimotori  Prof. Emil Salim.   Ketika Orba  selain   KLH untuk mengendalikan Pembangunan masih  ada  Badan Pengendalian  Dampak Lingkungan  (Bapedal).

              Struktur Bapedal itu sistematis dari pusat hingga tingkat Kabupaten.  Bapedal  mengendalikan lingkungan secara  sistematis karena struktur organisasinya sistemik.  Sekitar tahun 2000-an Bapedal dibubarkan sehingga  pengendalian lingkungan  tidak lagi sistemik  ke daerah.   Pasca  Bapedal  dibubarkan   mereka yang  daerah  menyikapi secara  beragam. Apalagi di awal reformasi   terjadi euforia otnomi daerah.  Daerah ada yang memiliki  dinas lingkungan hidup, ada pula yang  mempertahankan Badan  Pengendalian  Lingkungan Hidup  Daerah (Bapedalda).

              Era Otonomi  Daerah (OTDA)  koordinasi  KLH dengan dinas lingkungan hidup daerah  atau dengan  Bapedalda  tidak begitu  harmoni.   Di era Otda  pejabat dan staf yang ditempatkan  di dinas lingkungan hidup atau Bapedalda adalah  terkesan mereka yang tidak memahami  tata kelola lingkungan. Kesannya hampir sama di seluruh Nusantara  yaitu  pejabat dan staf di dinas lingkungan atau Bapedalda adalah  "buangan" dari dinas lain.   Ketika dinas lingkungan atau Bapedalda adalah "buangan"  maka KLH melakukan pelatihan pemahaman ilmu lingkungan. Ketika mereka sudah dilatih kemudian ditempatkan ke dinas lain.  Permasalahan ini terjadi di hampir seluruh daerah di Indonesia.

              Di era Jokowi hampir dipastikan bahwa kita fokus ke pertumbuhan ekonomi tanpa memperhitungkan resiko lingkungan.  Selain  fungsi pengendalian  lingkungan yang nyaris tidak ada,  lembaga Organisasi Non Pemerintah (Ornop)  yang bergerak dibidang lingkungan hidup pun nyaris tak terdengar.  Jokowi yang dianggap pro  humanis karena latar belakang terkenal  berhasil memindahkan pedagang secara humanis  dipercaya Ornop kompetensinya.  Mungkin juga karena para aktivis lingkungan  yang selama ini aktif ditarik Jokowi mengisi  jabatan  yang membuat mereka tak bersuara lagi.

              Dalam konsep  pembangunan berkelanjutan (sustainable development)  ada tiga Lembaga yang harus sama kuat  dalam menjaga keseimbangan  pembangunan untuk menjaga  kerusakan ekosistem.  Ketiga Lembaga itu adalah perencanaan Pembangunan,  pelaksana Pembangunan dan pengendalian lingkungan.  Tiga Lembaga ini harus terpisah agar  semua Pembangunan terkendali secara holistik.  Kita mengenal Badan Perencanaan Pembangunan  Nasional (Bapenas),   semua   kementerian yang bekerja termasuk dalam kategori  pelaksana.   Kementerian Lingkungan Hidup (KLH) sejatinya Lembaga yang sangat kuat untuk mengendalikan Pembangunan secara holistic terintegratif.

              Kita dapat merasakan secara langsung maupun tidak langsung selama hamper 10 tahun ini Pembangunan tanpa dikendalikan oleh kementerian yang kuat dari pusat hingga ke daerah.  Jokowi mencanangkan Proyek Strategis Nasional (PSN)  sampai kini publik tidak memahami apakah PSN itu  masuk kategori  berkelanjutan atau tidak?   PSN pariwisata  di  Danau Toba, Mandalika dan  keseluruhan PSN tidak dapat kita nilai apakah  berkelanjutan atau tidak. Faktanya, PSN orientasinya adalah proyek raksasa yang tidak mendapat kendali dari pemerintah maupun Ornop.

              Pembangunan jalan tol yang sangat dibanggakan di era Jokowi   itu pun tidak dapat dievaluasi dampaknya secara holistik. Publik hanya tahu bahwa Pembangunan jalan tol sangat baik  karena mempercepat    satu daerah ke daerah lain.  Tetapi resiko  Pembangunan terhadap sosial masyarakat dan ekosistem  tidak pernah mendapat perhatian khusus.   Debat jalan tol dan  PSN menjadi bagian dari debat kusir karena tidak ada data-data secara terbuka  untuk diperdebatkan di ruang publik.

              Menyadari   bumi makin panas dan bangsa  kita telah meratifikasi konsep Pembangunan  berkelanjutan yang disepakati Bersama PBB maka pasca pemilihan Presiden tahun 2024   Indonesia harus memperkuat KLH  agar semua Pembangunan berkelanjutan.  Pembangunan berkelanjutan membuat  seluruh pabrik bekerja dengan resiko polusi yang sangat rendah, konservasi tidak seperti era Jokowi yang sekedar tanam kemudian lupa.  Di era Jokowi hampir tidak ada konservasi lahan dan hutan yang dapat kita banggakan.  Era Jokowi adalah era eksploitasi tanpa kendali. Puncak eksploitasi tanpa kendali itu adalah  konflik  Pulau Rempang  Kepulauan Riau.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun