Tata Kelola Danau Toba  diberikan kartu kuning  oleh  United Nations Educational, Scientific and Cultural Organization (UNESCO).  Organisasi Pendidikan, keilmuwan, dan kebudayaan Perserikatan  Bangsa Bangsa (PBB)  itu  memberikan waktu 2 tahun untuk membenahi.  Selama  ini para pengamat dan praktisi lingkungan sudah teriak mengatakan Danau Toba sudah sakit.  Tetapi realitanya pemerintah  fokus eksploitasi  yang berorientasi proyek.  Mungkinkan  UNESCO  menarik kartu kuning jika paradigma tata Kelola  Danau Toba berorentasi proyek atau eksploitatif.
Sebagai pengamat lingkungan dan sosial, sejak awal saya mempertanyakan apa pentingnya bagi  kita  bergabung dengan UNESCO agar membuat status Danau Toba sebagai  anggota  UNESCO Global  Geopark  (UGGp).  Apa keuntungan kita  ketika Danau Toba masuk dalam UGGp?  Keuntunganya adalah  Danau Toba dijadikan  objek penelitian dunia bidang geologi,  keanekaragaman hayati (biodiversity) dan budaya.  Sesungguhnya,  Danau Toba  itu  harus kita yang  menyelamatkannya dengan kemampuan kita sendiri.  Apakah  pentingnya  Danau Toba  masuk  UGGp?
Ketika Danau Toba  pada akhirnya dicatat  sebagai anggota  UGGp tanggal 7 Juli 2020  di Paris maka konsekuensinya adalah  pemerintah dalam hal ini pemerintah provinsi Sumatra Utara harus melakukan peningkatan ekonomi  masyarakat lokal, edukasi dan konservasi.  Tiga unsur yang harus difokuskan yaitu geologi, keaneka ragaman hayati  (biodiversity) dan  budaya.  Kini, keanggotaan  itu diberikan kartu kuning dan akan dicabut jika tidak melakukan   program sesuai dengan yang diinginkan  UNESCO.
Pengusul Danau Toba menjadi  anggota  UGGp ini memang aneh, sejatinya UNESCO yang datang meminta agar  Danau Toba  menjadi anggota  UGGp tetapi  sebaliknya.  Dalam konteks  budaya Batak  harus diminta bukan meminta.  Diusulkan bukan mengusulkan diri.  Budaya Batak mengenal napinaraja bukan parajarajahon, napinajongjong bukan pajongjong diri  yang jika diterjemahkan  posisi kita  diusulkan bukan mengusulkan diri.
Sejatinya,  kita yang  mengelola Danau Toba dengan baik maka UNESCO yang meminta kita gabung menjadi anggota  UGGp. Jika kita yang dinimta maka tak akan mungkin kita dikartu kuning  karena  mengelola tak sesuai keinginan UNESCO. Ketika kita yang menawarkan diri  ke Unesco maka kita diberi kartu kuning.  Dimana harga diri kita ketika diberikan kartu kuning atas Anugrah Tuhan  itu diberikan kepada kita?  Kesalahan kita yang meminta agar masuk menjadi anggota UGGp kini kita tuai. Posisi kita telah didikte oleh UNESCO?
Apa yang membuat Danau Toba yang menjadi anggota baru UGGp  diberikan kartu kuning? Jawaban singkatnya adalah paradigma pembangunan  atau paradigma yang diinginkan UNESCO berbeda dengan paradigma yang dilakukan Badan Pengelola  Toba Caldera Unesco  Global Geopark BP TCUGGp). Paradigma  obesitas organisasi,  konservasi dan posisi masyarakat lokal.  Aktivitas BP TCUGGPp  hamper tidak ada terkait yang diinginkan UNESCO.  BP TCUGGp tidak memahami  tata Kelola geopark dan hanya sebatas tim saja.
Presiden Republik Indonesia  menerbitkan  Perpres  nomor 49 tahun 2016 tentang Badan Otorita  Danau Toba (BODT).  Presiden juga  menerbitkan Perpres nomor 60  tahun 2021 tentang Penyelamatan Danau  Prioritas Nasional.  Perpres nomor 49 tahun 2016  sangat jelas orientasi proyek untuk eksploitasi  lahan masyarakat  khususnya di Desa Sigapiton dan  Motung.  UNESCO sangat jelas  mengutamakan peningkatan  ekonomi masyarakat lokal, melindungi budaya lokal tetapi  BODT  mengeksploitasi hak-hak masyarakat lokal.  Sejatinya  BP TCUGGp  dapat mengintegarisan diri dengan BODT  agar posisi  Danau Toba sebagai anggota  UGGp sangat kuat. Terintegrasi jika dua Lembaga itu  memiliki paradigma yang sama dengan UNESCO. Persoalan terjadi  ketiga  nilai tata kelola atau paradigma yang bertolak belakang.
Perpres Nomor 60 tahun 2021  juga sama nasibnya sama  dengan BP TCUGGp.  Dalam  Perpres  Nomor 60 tahun  2021  dituliskan bahwa penyelamatan 15  Danau Prioritas  dikomdoi Luhut Binsar Panjaitan. Struktur organisasi penyelamatan  danau prioritas juga mengalami obesitas bahkan tidak mungkin bisa bergerak karena obesitas tingkat tinggi.  Struktur organisasi penyelamatan Danau Prioritas itu 16 menteri, Kepala BRIN, Panglima TNI, Kepala Badan Informasi  Geospasial. Lembaga  penyelamat danau prioritas raksasa tetapi kegiatan tidak ada sampai hari ini.
Penyelamatan Danau Toba tidak dalam  rangka agar tidak kartu merah UNESCO.  Danau Toba menjadi anggota UGGp  perlu, t etapi Danau Toba memang harus diselamatkan dari  kondisi sekarang yang rantai makan  (food chain) dan  jarring-jaring makanan (food web) sudah terputus.  Dalam rangka mengembalikan rangka rantai makanan dan jarring-jaring makanan itu dibutuhkan konservasi.  Tidak  dapat  dibantah bahwa ekosistem Danau Toba rusak parah.  Danau Toba kini mengalami tragedi  Ekosistem.
Tragedi ekosistem itu adalah  Danau Toba mengalami kesuburan  (eutrofikasi)  yang menyebabkan  biota di danau Toba tidak terkendali.  Jika kita amati  spesies ikan di  Danau Toba maka  populasi yang dominan adalah spesies pendatang yang invasif yang dikenal dengan red devil.  Red devil dan populasi  semacamnya mendominasi  spesies ikan di Danau Toba.  Red devil, lohan,  dan berbagai spesies luar yang masuk ke Danau  Toba diduga  masuk ketika  para pejabat dan  oknum tertentu menabur ikan  tanpa seleksi. Kehadiran spesies baru yang invasif membuat spesies endemik punah.
Menabur ikan di  danau Toba oleh oknum tertentu  mungkin berniat baik tetapi dengan cara yang salah.  Siapapun yang menabur ikan di  Danau Toba sejatinya melalui otoritas karantina.  Otoritas itu tidak ada sehingga siapa saja  dan menabur apa saja bebas ke ekosistem Danau Toba. Tujuannya agar spesies yang bukan endemik  Danau Toba didak tersebar karena berpotensi memutus rantai makan  dan jarring jarring makanan. Realitanya, banyak orang menabur benih tanpa kendali. Ikan yang ditabur langsung dilepaskan dari tempatnya yang mungkin dalam kondisi stres  sementara spesies invasif yang  daya tahannya kuat  menjadi bertahan hidup dan berkembang hingga populasinya tidak terkendali.