Mohon tunggu...
Gurgur Manurung
Gurgur Manurung Mohon Tunggu... Konsultan - Lahir di Desa Nalela, sekolah di Toba, kuliah di Bumi Lancang Kuning, Bogor dan Jakarta

Petualangan hidup yang penuh kehangatan

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Menakar Kehidupan Rakyat Rempang Pasca Relokasi

16 September 2023   06:14 Diperbarui: 16 September 2023   06:41 241
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber :  wartakota.tribunnews.com

              Masyarakat Rempang  di  Kota Batam Provinsi Kepulauan Riau  kini menjadi   isu nasional karena  melakukan  perlawanan  terhadap rencana Badan Pengelolaan   Batam (BP Batam)  untuk membuat Rempang menjadi eco city.  Pulau Rempang dengan luas  sekitar 17.000 hektar  akan dijadikan Proyek Strategis Nasional  (PSN)   dengan relokasi dari  16 kampung tua. Pemerintah menyediakan  tempat yang baru  dengan rumah tipe 45 di atas lahan 500 meter persegi dengan biaya bangunan sekitar Rp 120 juta   Bagaimana kehidupan mereka setelah  direlokasi?

              Jika kita melihat konflik yang terjadi di Rempang maka  yang terjadi adalah  sejak awal rencana proyek,   masyarakat Rempang tidak  dilibatkan dalam  rencana  pengembangan Rempang  menjadi  eco city.  Presiden Jokowi  menyatakan bahwa  kasus Rempang adalah masalah komunikasi.   Presiden Jokowi mengatakan bahwa   Rempang adalah masalah komunikasi?  Sementara  mantan Sekretaris Jenderal (Sekjen)  Aliansi Masyarakat Adat Nusantara  (AMAN)  Abdon Nababan penerima Magsaysay award  mengatakan bahwa konflik  Rempang  merupakan masalah  hak konstitusi. Abdon  mengatakan bahwa  pemerintah  dalam hal ini BP Batam telah mengabaikan hak konstitusi  masyarakat Rempang  dan membatasi  ruang hidupnya.  

              Konflik   yang terjadi  di Rempang merupakan  kejadian yang sama  berulangkali di berbagai tempat. Konflik  terjadi di hampir semua Proyek  Strategis Nasioanl (PSN) khususnya  proyek Destinasi Wisata  Super Prioritas.  Proyek  Strategis Nasional  Destinasi   Wisata Super Prioritas di Kawasan Danau Toba  khususnya di Sigapiton mendapat perlawanan dahsyat dari kaum Perempuan.   Kaum Perempuan  mengalami pahit getir  melawan kekerasan yang dilakukan aparat keamanan dan alat berat.  Cara cara penanganan  pemerintah sangat memilukan.

              Jika kita mengamati  secara jernih konflik Rempang dapatlah kita melihat secara gamblang bahwa  pemerintah dalam hal ini BP Batam  tidak melibatkan    masyarakat sejak awal dalam membuat naskah atau dokumen lingkungan sejak awal. Sejatinya,  konflik  ini sudah disiasati sejak proses pembuatan dokumen lingkungan  dalam proses konsultasi publik.  Ketika terjadi konflik inilah sejatinya  pemerintah membuka dokumen yang disepakati. 

              Fakta yang kita lihat adalah  pemerintah yang diwakili BP Batam,  dan berbagai pejabat yang terkait tidak  mengacu kepada dokumen  yang diamanatkan oleh UU Nomor  32 tahun 2009 tentang  Perlindungan Pengelolaan Lingkungan  Hidup (PPLH).  Sejak awal dalam dokumen itu   sejatinya  tertulis   bagaimana  kehidupan   masyarakat Rempang  pasca proyek. Secara detail seluruh penduduk Rempang  ada dalam dokumen agar masa depan mereka jelas.

              Penduduk Rempang yang  terdampak secara langsung hanyalah     7512 jiwa.   Jumlah ini sangatlah mudah untuk diinventarisasi  apa yang menjadi  keinginan dan kebutuhan mereka  dan bagaimana merawat  budaya mereka yang sudah sangat lama teruji.  PSN  sejatinya membuat masyarakat Rempang bergembira karena akan meningkatkan taraf hidup mereka secara lahir batin.  Paradigma yang dibawa pemerintah fokus kepada  selera investor tanpa sadar bahwa tujuan pembangunan adalah meningkatkan taraf hidup masyarakat khususnya Rempang.

              Rencana Eco City versi pemerintah menjadi kontraproduktif karena  sejatinya  eco diartikan sebagai ramah lingkungan atau berbasis ekosistem.   PSN di Rempang akan  dibuat zona industry, zona agro-wisata, zona pemukiman dan komersial, zona pariwisata, zona hutan dan pembangkit listrik tenaga surya , zona margasatwa dan alam, dan zona cagar budaya.  Zona akan dibangun sedemikian apik tetapi  penduduk lokal terabaikan masa depannya.

              Pertanyaan mendasar yang harus dijawab dan sejatinya sudah ada dalam nasakah atau dokumen lingkungan adalah bagaimana kehidupan pasca relokasi?  Melihat pengalaman kehidupan pasca relokasi atau ada yang menggunakan istilah  tukar guling selama ini kehidupan mereka sangat memprihatinkan.  Dampak relokasi itu terutama dalam hal perubahan ekonomi karena profesi  akan berubah.  Kepala  BP Batam M Rudi mengatakan masyarakat Rempang  yang profesinya nelayan tetap bisa menjadi nelayan setelah relokasi.  Pertanyaannya adalah apakah  penghasilan nelayan sebelum dan sesudah  relokasi sama?   Apakah  daerah tangkapan ikan di lokasi  sebelum dan sesudah relokasi  sama?  Pertanyaan inilah sejatinya dijawab secara bersama sebelum eksekusi proyek.

              Pertanyaan penghasilan (ekonomi) rakyat  saja belum terjawab, bagaimana dengan budaya mereka yang tercerabut dan   kualitas lingkungan yang menurun?  Pertanyaan ekonomi, sosial budaya, kualitas lingkungan merupakan hak konstitusi mereka.   Karena hak konstitusi mereka tidak terjawab maka tidak sewajarnya   petinggi negeri seperti  Presiden Jokowi,  Menko Polhukan, Menko Marves,  Panglima TNI dan pejabat lain  tak sepatutnya berbicara keras kepada rakyat. Hati rakyat yang terancam masa depannya  hatinya mudah terluka.   Secara jelas dan tegas  Abdon Nababan sebagai penerima Magsaysay Award  mengatakan konflik Rempang adalah  menyangkut hak konstitusi.  Hak konstitusi  pejabat sama dengan  hak konstitusi masyarakat  Rempang. Karena itu dibutuhkan hikmat dan bijaksana dalam menangani rakyat Rempang.

              Pengalaman empirik  masyarakat yang direlokasi atau tukar guling  dapat kita lihat di Sibolga pasca pembangunan pelabuhan di Sibolga dan  masyarakat di Tangerang Selatan dan Kabupaten   Tangerang.  Mereka yang awalnya  nelayan dan petani kesulitan  beradaptasi pasca relokasi  dan tukar guling.  Kendala yang paling sulit adalah  profesi baru di usia  50 tahun   hingga usia lanjut  sulit beradaptasi disatu sisi, disisi lain  anak-anak mereka membutuhkan biaya untuk  hidup dan biaya sekolah.  Dalam konteks itulah perencanaan pembanunan harus  total memahami keinginan dan kebutuhan rakyat. 

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun