Demokrasi yang kita bangun di negeri ini  tujuan utamanya adalah membangun kesejahteraan yang adil  dan beradab. Tetapi dalam prakteknya acapkali  makna adil dan beradab itu kontraversi karena ada perebutan kekuasaan.  Â
Peradaban  menjadi hilang  ketika  penguasa  tidak paham  makna peradaban itu sendiri. Kehilangan peradaban itulah yang saya rasakan ketika duduk di Tribun A3 ketika menonton F1H20 karena Pampamres memperlakukan kami di Tribun A3 seperti tawanan  perang.
Dalam rangka  peningkatan  kuantitas kehadiran  wisatawan  ke kawasan Danau Toba yang ditetapkan pemerintah pusat sebagai  destinasi wisata super prioritas  maka Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang fokus  ke pengembangan wisata In-Journey  Indonesia mengadakan perhelatan  F1H20. Perhelatan lomba  powerboat  menuai kontraversi  karena ada pihak yang mengkuatirkan pencemaran suara, air dan tidak relevan dengan budaya lokal di kawasan  Danau Toba. Â
Dalam kondisi kontraversi itu saya dalam posisi mengamati  karena  saya pengurus di Yayasan Perhimpunan Pecinta Danau Toba (YPDT) yang cukup  keras menyuarakan agar Danau Toba  dikelola sesuai dengan nilai-nilai lokal.  Â
YPDT menawarkan  perhelatan tradisional seperti  Solu Bolon dan kegiatan-kegiatan yang mengangkat  nilai-nilai lokal agar dikenal dunia. Di tengah  pengamatan dan perenungan, saya mendapat  tiket di Tribun  A3 yang dekat dengan kursi Presiden Jokowi.  Saya bisa melihatan perhelatan itu secara dekat.
Dalam persepsi saya jika di Tribun yang sama dengan Presiden rasanya aman dan nyaman tetapi dalam kenyataannya hati gelisah melihat Paspamres yang kehilangan nalar, logika dan hati nurani. Â Sebab Paspamres memaksa harus duduk dan dipersulit bergerak. Pintu keluar dihalangi hingga kami ke toilet saja sulit.Â
Di Tribun kami protes tetapi  karena tidak mau ribut didiamkan saja. Masa sih kegiatan yang seru dan riang gembira kita  harus duduk seperti di pesakitan? Benar-benar kehilangan gairah karena Paspamres.
Di awal saya masuk,  dua rekan saya dari  TV Parlemen mengeluh karena tidak diperbolehkan masuk oleh Paspamres, padahal tangan mereka sudah memiliki pita sebagai tanda diperbolehkan masuk.  Â
Mereka diizinkan oleh panitia.  Alasan penolakan  Paspamres karena membawa kamera besar.  Pertanyaannya semua penghuni membawa telepon genggam yang bisa siaran langsung  dengan menggunakan medsos. Mengapa wartawan yang memili kamera bagus tidak bisa?  Apa alasannya dan mengapa panitia memperbolehkan?  Â
Proses masuk ke tribun A telah melalui proses yang panjang seperti  wajib menggunakan pita yang sangat kuat, kemudian di seleksi  di pintu utama,  diseleksi di pintu Tribun. Â