Dalam kehidupan sehari-hari ada beberapa orang yang diikat oleh rasa benci dan dendam kepada orang lain. Berbagai latar belakang yang membuat seseorang muncul rasa benci dan dendam. Dalam keseharian kita sering membaca istilah dendam politik atau lebih parah disebut lagi dendam berkarat. Siapa yang rugi jika sikap benci dan dendam bertahan dalam diri kita? Bagaimana tips agar kita keluar dari rasa benci dan dendam?.
Pertama, menyadarai bahwa rasa benci dan dendam merugikan diri sendiri. Jika kita membenci atau dendam kepada orang lain maka kita akan lelah. Pikiran kita terganggu terus menerus diganggu orang yang kita benci sementara orang yang kita benci baik-baik saja. Kita lelah memikirkannya padahal orang yang kita benci mungkin sedang berlibur dipantai bersama keluarganya. Lalu, apa untungnya kita benci atau dendam kepada siapapun? Mungkin dia tidak tau bahwa kita ada rasa benci dan dendam.
Kedua, menyadari bahwa hidup ini adalah belajar untuk naik kelas. Realita kehidupan keseharian kita muncul rasa muak dan muncul rasa benci karena hak kita dan prinsip-prinsip kita dilabrak orang lain. Atau ketika kita melihat kesombongan dipertontonkan orang lain. Rasa kebencian ini muncul dengan beragam. Kalau saya sendiri muncul rasa muak melihat polisi yang arogan dijalanan. Juga melihat polisi dan pamong praja ketika saya mendampingi masyarakat Sigapiton memperjuangkan tanah ulayatnya di Kabupaten Toba, Sumatra Utara. Rasa muak itu muncul karena sikap polisi dan pamong praja tidak proporsional ketika itu. Ketika rasa benci dan muak muncul maka saya tersadar bahwa mereka menjalankan tugasanya, mereka melakukan itu karena pengetahuannya terbatas. Mereka bersikap tidak proporsional karena ada tekanan saja. Demikian sikapku mengobati rasa benci itu.
Rasa benci saya muncul kepada kaum perempuan yang mengaku pemerhati perempuan ketika menyalahkan perempuan Sigapiton ketika menyingsingkan bajunya melawan polisi, tentara, pamong praja dan escapator yang mendorong rakyat Sigapiton mempertahankan tanah ulayatnya. Mereka yang mengaku pemerhati perempuan itu tidak berempati kepada yang menderita. Perempaun Sigapiton menyingsingkan bajunya agar polisi dan tentara meninggalkan tanah ulayat mereka. Mereka tidak memiliki kekauatan untuk melawan kekuasaan itu. Tetapi, saya sadar bahwa pendapat itu karena keterbatasan pengetahuan dan tidak melihat secara langsung sehingga tidak paham konteksnya. Hati saya terobati ketika istri saya mengatakan bahwa perempuan Sigapiton kehilangan harapan sehingga mereka menyingsingkan bajunya dalam melakukan perlawanan.
Ketiga, menyadari bahwa tugas kita dalam hidup ini adalah memerdekakan orang lain bukan membenci bahkan dendam kepada orang lain. Jika ada orang lain menyakiti hati kita maka tugas kita adalah menjelaskan bahwa hal itu tidak menyenangkan hati kita. Hal yang dapat kita lakukan adalah menjelaskan kepada orang lain apa yang sedang kita pikirkan dan orang lain. Menjelaskan langsung kepada orang yang menyakiti kita jika konteksnya dekat. Bagaimana jika kita benci kepada kejahatan penimbunan minyak goreng yang harganya melambung tinggi? Kita dapat menyuarakan perasaan kita di media seperti medsos, media konvensional atau berbagai macam cara untuk menumpahkan kekesesalan kita. Kita terus berusaha menyuarakan isi hati kita. Bersuara adalah hak kita, tetapi membenci atau dendam sudah diluar tugas kita. Karena kalau ada rasa benci dan dendam dalam diri kita maka kita menjadi kerdil dan tidak naik kelas.
Keempat, menyadari bahwa kita adalah manusia lemah yang harus belajar rendah hati yang butuh hikmat dan bijaksana. Sikap merendahkan hati melihat segala persoalan membuat kita bersikap jernih. Kerendahan hati membuat analisis kita melihat persoalan secara tajam dan kita terbiasa mudah memahami persoalan secara holistik. Diri kita membutuhkan pengendalian diri agar terbiasa objektif dan paradigm berpikir untuk keadilan. Menyadarai kelemahan kita akan menjadi kekuatan jika melatih diri untuk belajar rendah hati. Rendah hati adalah titik awal untuk meningkatkan intelektualitas kita. Seorang intelektual harus jernih dan seobjektif mungkin melihat persoalan.
Kelima, melatih diri untuk berpikir rasional, objektif dan realitis. Sikap rasional, objektif dan realistis itulah kita bersikap empati kepada semua orang orang. Pikiran yang rasional tidak datang begitu saja. Berpikir rasional, objektif dan realistis adalah hasil latihan. Tidak mudah melatih sikap yang obejketif melihat berbagai persoalan. Sikap objektif butuh fakta-fakta dan wawasan. Wawasan yang luas dan rasionalitas berpikir mengikikis kita dari rasa dendam. Ketika kita terbiasa rasional maka muncul sikap kelakar yang cerdas. Pikiran kita terbiasa rasional dan sikap cinta kepada keadilan manusia dan bumi makin dalam.
Keenam, bersikaplah mencintai dan mengasihi kepada sesame dan cipataan Tuhan. Mencintai dan mengasihi menuntun kita untuk terus belajar. Jika kita mencintai keadilan maka kita belajar keadilan itu apa? Keadilan seperti apa yang diharapkan? Jika kita mencintai pendidikan maka kita secara otomatis belajar dunia pendidikan. Jika kita mencintai lingkungan, maka kita belajar bagaimana cara menyelamatkan lingkungan. Seseorang yang cinta dan kasih maka akan terbebas dari benci dan dendam. Belajar mencintai dan mengasihi adalah siakp teduh dan nikmat. Tandap disadari dampaknya luar biasa.
Ketujuh, pro aktif memaafkan. Bagimana jika terjadi konflik? Secepatnyalah meminta maaf. Prinsipnya adalah siapa yang duluan minta maaf, maka dia naik kelas. Minta maaf lebih dahulu artinya duluan naik kelas dan memenangkan dirinya untuk berdamai dan memenangkan orang lain. Bagiamana jika orang lain tidak memaafkan kita? Urusan kita adalah memaafkan. Jika tidak dietrima maka kita berdoa dan bersikap empati kepadanya. Kita laksanakan apa yang menjadi tugas kita. Teruslah berusaha agar kita naik kelas terus menerus hingga meninggalkan dunia yang fana ini.