Melihat perseteruan  pengacara yang kebetulan bersuku Batak  yang berprofesi pengacara itu kini  mengernyitkan dahi  karena agak malu  melihatnya.  Hal itu  mengingatkan saya  akan pertanyaan  kepada aktivis sejati  George Junus Aditjondro (GJA). GJA adalah dosen  Universitas Kristen Satya Wacana (UKSW) di era Presiden Suharto yang pindah ke Australia  bersama sesame aktivis  Arif Budiman.  Ketika itu kekuasaan Orde Baru (Orba) ditengarai mencampuri urusan kampus hingga mereka pindah karena melakukan perlawanan.  Pertanyaan saya kepada GJA  penulis buku Gurita Cikeas dan Cikeas Makin  Menggurita  itu  adalah siapa tokoh Batak yang  di kaguminya?
Perseteruan  Otto Hasibuan dan Hotman Paris Hutapea rasanya  jauh dari substansi keilmuwan.  Perseteruan itu jauh dari substansi intelektual. Perseteruan  mereka lebih kepada persoalan pribadi yang masuk ke ranah publik.  Saya menilai perseteruan  diantara sesame  teman seperti itu tidak perlu ke ruang publik jika ditinjau dari  budaya Batak yang senang berdialog dan bercanda di lapo tuak seperti kehidupan seharihari  di  Tapanuli.  Mereka yang terpelajar biasanya  bersikap  sebagai intelektual yang  keilmuwannya untuk membebaskan. Seorang intelektual  menempatkan uang sebagai alat tukar,  mobil sebagai alat transportasi, rumah sebagai tempat tinggal.  Intelektual tidak larut dalam  gaya hidup tetapi makna hidup untuk menjawab persoalan publik. Sifat intelektualaitas menunjukkan kesederhanaan dan selalu berkontribusi untuk alam dan kemanusiaan.
Siapakah yang GJA kagumi dari orang Batak, tanyaku? GJA menjawab cukup banyak yang hebat  tetapi  tokoh yang saya kagumi adalah  Asmara Nababan dan  Dr. Victor Silaen, M.A.  Dua tokoh yang disebut itu telah meninggal.  Asmara Nababan yang istrinya  boru  Sitorus dari Lumban Nabolon, Uluan, Kabupaten Toba  itu adalah  penggiat atau pejuang Hak Asasi Manusia (HAM).  Asmara Nababan  pernah menjadi Sekjen Komisi Nasional (KOMNAS) HAM.  Karena itulah di kantor Komnas HAM ada ruangan Asmara  Nababan.  Asmara Nababan saya kenal dekat ketika  kasus Lumpur Lapindo.  Dalam perjuangan  itu kami sering berdialog dan kelihatan sekali  kemampuannya berdialog  dengan siapa saja termasuk melawan arogansi polisi ketika itu.
Satu hal yang selalu kuingat dari Asmara Nababan adalah dia selalu berkata bahwa hidup ini adalah daya juang. Siapapun yang memiliki daya  tahan untuk  berjuang pasti pemenang.  Coba ingat ketika masa Orde Baru. Betapa lelahnya kita memperjuangkan HAM di era Orde Baru yang akhirnya disetujui Suharto.  Rasanya tidak  masuk akal Suharto menyetujui Komnas HAM karena kepemimipinan Suharto sangatlah militeristik.  Dengan daya tahan berjuang  dan pemahaman  makna demokrasi yang sangat dalam  Asmara Nababan dan kawan-kawannya sesame aktivis berhasil  mendirikan Komnas HAM.
Victor Silaen adalah seorang dosen di Universitas Kristen Indonesia (UKI)  yang kemudian pindah ke Universitas Pelita Harapan (UPH)  sampai akhir hidupnya dosen di UPH sebagai dosen ilmu komunikasi dan politik.  Lulusan doktor ilmu politik Universitas  Indonesia (UI) dikenal  dengan tulisan-tulisannya  menghiasi  media nasional, internasional dan lokal itu.  Victor Silaen  memang berjuang lewat tulisan dan pejuang jalanan.  Victor Silaen  lewat tulisannya memberikan pemahaman politik kepada kaum awam lewat tulisan dan  memberikan kritik tajam kepada penguasa lewat tulisan juga.  Victor Silaen memang seorang intelektual  sejati.
GJA itu sering sekali  memakai ulos Batak dalam bepergian. Katanya, itu sebagai lambing kecintaannya kepada suku Batak dari makanannya yang khas pakai andaliman, akar budayanya yang kuat dan karakternya.  Menurut GJA  orang Batak itu  ndang siida bohi (Independen)  dan berani mengungkapkan independensinya dengan lembut.  Daya juang yang tinggi, sikap indpendensi, ramah dan lembut bicaranya.  Asmara Nababan dan Victor Silaen adalah potret orang Batak yang sesungguhnya.Â
Tidak banyak yang  mengetahui bahwa GJA itu pergi  berjuang ke  Pahae ketika  hadirnya  Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi.  GJA memperjuangkan hak-hak rakyat lokal yang menurutnya  anak rantau  di Pahae, Taput ketika itu tidak memahami makna pembangunan berkelanjutan.  Demikian juga  nasib rakyat  Dairi yang tanah nenek moyangnya dieksploitasi  GJA hadir untuk advokasi. Di  Tapanuli Tengah juga hadir untuk mendampingi rakyat untuk memperjuangkan hak-haknya.
Selain sikapnya yang Independen, GJA menyebut ciri orang Batak itu serep marroha  (bijak dan rendah hati).  Ajaran sikap berpikir dan bertindak  Independensi membuat orang Batak  bersuaran lantang menyuarakan kebenaran dan keadilan. Dibalik suara lantangnya, orang Batak rendah hati mendengar dan bijaksana. Bijaksanannya adalah memahami apa yang harus disuarakannya secara lantang.
Masyarakat  Batak yang bicara merk mobil mewah, rumah mewah, gaya hidup mewah  di tengah kemiskinan rakyat adalah kumuh tak bernilai menurut GJA.  Apalah nilai  orang sarjana masih bicara dirinya sendiri? Manusia kerdil, kata GJA yang tidak lulus Fakultas Teknik Elekro dari UKSW tetapi karena tulisan-tulisannya bagus di jurnal Prisma mendapat beasiswa  master dan Ph.D di Cornell University. GJA masuk Cornell University tanpa lulus sarjana teknik elektro.Â
Jika melihat cintanya GJA terhadap budaya Batak sehari-hari, sebagai orang Batak belajar memahami budaya Batak  yang  mengajak kita untuk  unang siida bohi (independen) dan serep maroha  (rendah hati dan bijaksana).  Orang indpenden  yang rendah hati dan bijaksana adalah orang memberikan kontribusi terbaik bagi dirinya, keluarga, tetangga, komunitas, bangsa dan negara.  Sikap independen  yang bijaksana dan rendah hati selalu berpikir  untuk memberi yang terbaik bagi sesame tanpa kepentingan diri sendiri
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H