Minggu lalu sekitar pukul  21.00 WIB saya ditelpon seorang guru. Guru itu menjelaskan  pembicaraan  tentang  perkembangan rencana kita membangun  sebuah rumah yang akan ditempati seorang  guru Injil di kampung kami. Dia menceritakan  komunikasi kami akan tersendat karena dia, istri dan kedua anaknya positif Covid-19.
Saya bingung sekaligus kagum, karena dengan  tenang dia menjelaskan perkembangan rencana kami. Cukup lama dia telpon saya untuk menjelaskan perkembangan rencana bangunan secara detail. Beberapa hari sebelumnya, saya juga kaget dan kagum kepada seorang teman muslim yang dalam kondisi positif Covid-19 masih sempat mengucapkan selamat Natal.
Ketika saya ingat  kedua komunikasi dengan sahabat yang  positif Covid-19 itu saya malu kepada diri  sendiri.  Dalam kondisi sehat bersama keluarga tidak seperti semangat mereka berdua.Â
Saya tersadar bahwa kekuatiran saya akan potensi positif Covid-19 Â tidak mengurangi semangat untuk bekerja dan membangun komunikasi dengan banyak orang. Sahabat yang positif Covid-19 saja masih semangat melakukan kegiatan sosial dan memikirkan orang lain. Mungkin kalau saya positif Covid-19 akan lupa mengucapkan selamat Natal atau hari raya kepada sahabat yang berbeda agama.
Setelah merasa sudah pulih, kemudian saya ditelpon guru itu. Guru itu menceritakan kekuatirannya menghadapi Covid-19  karena satu keluarga positif. Banyak kekuatiran yang saya  ketika saya mulai sesak nafas dan tidak selera makan, katanya dalam telpon. Siswa-siswa yang pernah saya didik bekerja keras mencari rumah sakit. Mereka menemukan rumah sakit untuk saya dan istri, saya menolak karena tidak mau juga meninggalkan anak-anakku yang juga positif Covid-19. Kami putuskan agar isolasi mandiri saja di rumah agar bisa bersama.
Salah satu  murid yang pernah saya didik adalah anak dari guru besar di Perguruan Tinggi terkemuka. Guru besar Kedokteran yang  ahli virus. Orang tua mantan  muridku itulah menjelaskan secara detail bagaimana sikap yang benar dan obat yang tepat untuk kami konsumsi.  Penjelasan guru besar itu sangat menyenangkan dan membuat saya percaya diri untuk sembuh. Saya turuti anjuran dokter itu.
Saya bahagia menemukan dokter yang juga guru besar yang ahli virus kemudian  mantan murid-murid saya mengisi rekening saya dengan jumlah yang  tidak pernah kuduga. Saya sampai bingung melihat jumlahnya yang di luar dugaan saya. Ketika ada teman yang cerita bahwa orang tuanya sakit juga maka langsung saya transfer. Kawan itu kaget, kok orang sakit membantu orang sakit? Saya merasa bersalah memberitahu orang tua saya sakit, katanya. Demikian cerita bapa guru itu.Â
Guru itu menceritakan bahwa walaupun sakit justru cukup banyak uang ke rekening saya yang saya anggap  milik Tuhan.  Ketika saya sakit salah satu murid yang menjadi alumni dari sekolah tempat saya mengajar  meminta nomor rekening saya. Ternyata para alumni itu berkumpul mengumpulkan dana menyiasati biaya perobatan saya. Saya kaget dan saya bagi juga kepada yang membutuhkan.  Tidak menyangka alumni alumni dari sekolah saya begitu baik kepada saya. Mungkin itulah kelebihan kami guru ini iya, katanya dalam intonasi lembut dalam telpon.
Sejak kecil guru itu saya kenal. Saya ingat  desa kami bangga dengannya karena lulus di Universitas nomor wahid di ibu kota provinsi kami. Dia kuliah ketika saya masih SD. Dia pulang ke desa kami ketika libur kuliah. Ketika saya SD kagum melihat mereka yang kuliah. Berbeda dengan pemuda yang tidak kuliah. Kalau kuliah bajunya bersih, rapi dan bicaranya baik. Mereka dipuja puji para orang tua.  Orang tua pada umumnya meminta kita agar meniru mereka. Diam-diam dalam hatiku, nanti aku harus kuliah.
Guru itu kuliah di Universitas bidang Matematika tetapi memilih menjadi guru. Selain guru dia membuka bimbingan belajar. Guru itu memang sangat mencintai matematika. Mungkin kebaikan dan cara mengajarnya yang hebat sehingga orang yang pernah diajarnya  secepat kilat mencari jalan keluar ketika gurunya sakit.