Mohon tunggu...
Gurgur Manurung
Gurgur Manurung Mohon Tunggu... Konsultan - Lahir di Desa Nalela, sekolah di Toba, kuliah di Bumi Lancang Kuning, Bogor dan Jakarta

Petualangan hidup yang penuh kehangatan

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

Pulanglah Kalau Rindu Papa

25 Oktober 2020   07:16 Diperbarui: 25 Oktober 2020   07:24 241
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Putri cantikku lahir 29 Mei tahun 2009  sore hari.  Setelah  operasi selesai saya mencari tempat makan karena sudah lapar menunggunya sejak pagi di Rumah Sakit (RS).  Hanya beberapa menit makan, saya menerima telpon dari perawat bahwa anak saya  bermasalah. 

Kakinya membiru, karena itu putri saya harus dirawat di ICU. Lemas rasanya. Besonya, anak saya dirujuk ke rumah sakit lain yang memiliki fasilitas yang lebih baik. Sebelum dirujuk ke RS lain, saya mengundang pendeta untuk membaptis untuk penyerahan diri kepada Tuhan secara total.

Dok pribadi
Dok pribadi

Saya mengantarkannya ke RS di Jakarta dan meninggalkan ibunya di RS Tangerang. Anak saya diantar pakai Ambulance yang didalamnya saya, putri saya dan perawat. Di dalam ambulance yang membunyikan sirena itu hatiku perih dan sore hari pula. 

Sore hari itu macet di jalan menuju Jakarta. Saya bersyukur karena Ambulance berjalan dengan lancar karena kebaikan hati para pengendara mendahulukan kami.

Tiba di rumah sakit rujukan berbagai kendala ditemukan. Administrasinya terlalu bertele-tele. RS rujukan lebih mengutamakan admin daripada mengutamakan keselamatan nyawa anak saya.  Padahal, administrasi bisa diperbaiki.  

Pihak RS terlalu kuatir saya tidak memiliki uang. Mungkin tampang saya tak meyakinkan memiliki uang.  Dalam urusan administrasi ketika itu sangat tidak beradab.  Semoga tidak terjadi kejadian semacam itu ke siapapun di negeri tercinta.

Dok pribadi 
Dok pribadi 

Ketika administrasi selesai, anak saya di rawat di ICU. Pelayanan RS sangat baik. Dokter-dokternya ramah dan dijelaskan kepada kami mengapa terjadi. 

Dokter menceritakan bahwa anak saya paru-parunya penuh cairan.  Cairan masuk paru-paru merupakan resiko anak  hasil operasi. Secara normal anak lahir dari vagina.Ketika lahir anak itu  turun kebawah dan menangis. Ketika turun kebawah dan menangis itulah cairan keluar. 

Jika operasi, anak diangkat dan resikonya kemungkinan cairan masuk ke paru-paru. Resiko itulah yang dialami putri saya. Sepuluh hari kemudian, anak saya sembuh dan anak saya kami bawa pulang ke rumah.

Anak saya tumbuh dan berkembang dengan baik.  Putri kami membuat hidup kami penuh makna. Sejak TK jika ada pertandingan selalu juara. Mulai dari pertandingan menanam padi, nilai yang selalu sangat bagus. 

Putri saya sangat serius dalam semua hal.  Berbeda dengan ayah dan ibunya yang cuek.  Dia senang jika membawa hadiah karena prestasinya. Prestasi di gereja dan sekolah. Ketika menerima rapor dari sekolahnya dia selalu bawa piala.

Beberapa waktu lalau, saya tidak pulang karena bekerja di luar kota sekitar 2 bulan. Saya menelponnya. Saya ungkapkan dalam telpon bahwa saya rindu. Dengan tegas putriku menjawab, " pulangkah kalau rindu", sudah iya pa katanya langsung menutup telpon.  

Setelah  telpon itu ditutup, saya langsung pesan tiket untuk segera pulang.  Besoknya, saya pulang dan kami  pergi makan malam bersama istri dan abangnya.

Kedua anak saya memang lebih dekat dengan ibunya. Saya maklum, karena ibunya pandai membangun komunikasi. Tetapi, istri saya cerita bahwa  putri saya mengajari abangnya jika ingin sesuatu yang dikategorikan mahal bilang papa.   

"Bang, kalau belikan sesuatu yang mahal jangan bilang mama. Bilang saja papa, pasti beres. Begitu caranya bang" kata istri saya menirukan  perkataan istri saya.  

Putri saya itu menurutku rajin, ulet dan tau diri. Dia tidak pernah meminta yang bukan kebutuhan mendesak.  Jika saya mengantarnya sekolah, tidak mau menerima uang jajan.  "Ini uang jajan, nak." "Ngak perlu papa", jawabnya.  Saya itu lelah kasih uang jajan sama kedua anak saya.  Mereka memang mau membeli yang perlu saja.

Suatu ketika, putri saya memanggil saya papi. Saya bilang, geli dipanggil papi.  Saya ini orang kampung, ketika saya kecil di desa ada anak Jakarta atau anak yang berasal dari kota memanggil ayahnya papi, geli telingaku mendengar. 

Putriku mengatakan, "aku ingin sekali memnaggil papi.". Menurutnya, kawan-kawannya yang panggil papi itu keren.  Keren bangat panggilan papi, katanya.  Sejak itu, saya pasrah saja dipanggil papi. Lama kelamaan asyik juga dipanggil papi.  Akhir-akhir ini, putri saya kembali panggil papa.

Dalam hal mendidik, saya itu bingung. Apa yang mau saya didik ke putri saya?. Secara alamiah dia sangat baik.  Di sekolah pintar, tugas-tugasnya di sekolah, di tempat kursus dikerjakan dengan baik dan selalu terbaik. Dia justru mengajari saya agar peka kepada perasaan perempuan. 

Putriku mengatakan, "jika benar papa sayang sama aku, maka jangan sakiti mamiku". Menyakiti mamiku, sama saja menyakitiku.  Papa itu, tidak bisa membedakan perasaan wanita.

Dok pribadi 
Dok pribadi 

Suatu sore, saya bertanya kepada putri saya. Menurutmu, siapa lebih cinta antara papa dan mama?. Menurutnya mamanya cinta bangat sama papanya. Karena itulah, papa tidak peka sama mama. Mamanya katanya bucin.  Apa itu bucin?. Budak cinta, papa. Masa itu saja ngak tau sih?.  Masa sih?. Bukannya aku cinta kali sama mamamu?. Ngaklah, sanggahnya dengan cepat.

Jika dalam buku-buku bacaan atau artikel  bahwa orang tua harus  memberikan keteladanan, konsistensi, sedikan waktu, bijaksana dan seterusnya. Dalam hidup saya terbalik. Saya yang harus belajar  keteladanan, konsistensi, saya butuh waktu anak saya buat saya.  Keuletan, disiplin, kerja keras seperti latihan dance,  belajar musiknya, belajar bahasa dan tanggungjawabnya, maka saya yang harus belajar kepadanya. Saya butuh perhatianya. Saya butuh cintanya.

Pertanyaan saya tiap  hari kepada putri saya yang  11 tahun itu adalah apakah engkau sayang papa?. Menurutku, aku yang butuh kasih saying dan perhatiannya. Sebel, jika putriku tak mau kuajak makan malam atau jalan-jalan untuk menikmati alam atau kemana saja yang dia mau. 

Jadi, saya ini orang tua yang haus kasih saying anak dan mau belajar kepada putriku dan putraku. Kalau putraku harus saya awasi.  Kalau tugas saya hanya satu, "mengawasi pemakaian gadget".  

Itupun, mereka protes, karena kata mereka, saya lebih parah.  Kritik mereka benar, tetapi saya bilang, 'saya lakukan itu urusan kerja.  Emang ada urusan kerja di medsos, pak?. Adalah jawabku sambil menunjukkan apa yang saya lakukan. Apa yang saya lakukan sesungguhnya ada unsur pembenaran diri juga.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun