Mohon tunggu...
Gurgur Manurung
Gurgur Manurung Mohon Tunggu... Konsultan - Lahir di Desa Nalela, sekolah di Toba, kuliah di Bumi Lancang Kuning, Bogor dan Jakarta

Petualangan hidup yang penuh kehangatan

Selanjutnya

Tutup

Worklife Pilihan

Aku Petani Setelah Lulus Sarjana

28 Juni 2020   09:59 Diperbarui: 28 Juni 2020   10:00 214
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kami menikmati hidup kami menjadi petani. Tetapi krisis ekonomi 98 membuat kami hancur lebur. Ayam yang kami pelihara terancam kelaparan.  Harga pakan naik sekitar 350 % sementara harga daging hanya 20-50 %.  Setiap ekor ayam harus disubsidi.   Modal awal kami adalah patungan dan sudah habis membeli bibit ikan, membuat kandang ayam, peralatan kandang ayam dan membeli  pakan ikan.  Peternakan ayam yang hanya 30 hari panen diharapkan diputar keuntungannya untuk pakan ikan justru terbalik. Ayam yang diharapkan untung mengalami buntung karena kenaikan harga pakan. 

dokpri
dokpri
Sebagai pemula, kami kelimpungan karena tidak mengenal pinjaman bank atau solusi lain. Kami berusaha dengan modal nekat dan kerja keras. Ternyata, keberanian, kerja keras, niat mulia tidak cukup. Dampak ekonomi global dirasakan petani seperti kami. Hidup melarat karena  pekerja di ladang kami harus Putus Hubungan Kerja (PHK). Kalau kami berempat ngak masalah, karena masih bisa melapor ke orang tua  masing-masing.

KENDALA BAGI PETANI PEMULA

Kedala utama ketika itu adalah keluarga dan lingkungan. Di lingkungan kami bertani, ada semacam persepsi masyarakat untuk apa sarjana kalau menjadi petani?.  Tidak perlu sarjana untuk menjadi petani. Habis uang kuliah hanya untuk menjadi petani berlumpur. 

Suatu ketika, ada saudara kami  satu desa saya ajak ke kolam kami itu. Kami panen dan menikmati hasil panen.  Tetapi, ketika pulang ke desa kami saudara itu memberitahu ibu saya bahwa saya menjadi petani. Ibu saya sedih dan memberitahu abang dan kakak saya. Semua keluarga tidak setuju dan nada suaranya adalah  "untuk apa sarjana menjadi petani?". Kendala itu tidak  hanya pada saya.  Tetapi ke teman-teman saya juga.

Tekanan dari ekonomi global, lingkungan dan keluarga membuat saya memutuskan kuliah di pascasarjana IPB Bogor. Kawan saya yang lain 2 orang lulus ASN dan 1 orang lain menjadi pengusaha di bidang jasa. Kami gagal menjadi petani. Walaupun kami gagal menjadi petani, berharap niat awal hidup yang jujur masih terjaga.  Menjadi jujur tidak harus petani.

Dari pengalaman kegagalan kami menjadi petani, satu hal yang membuat petani  tak berdaya adalah kartel.  Pengusaha penghasil anak ayam (DOC) memiliki data kapan petani panen. Jadi, pengusaha DOC yang juga pengusaha daging ayam dapat mengutak atik harga. Berbagai alasan ke pemerintah. Dan, pemerintahpun tak berdaya.

Kami ingin berjuang, tapi tak mampu karena tidak punya kuasa. Bagimana mampu memperjuangkan nasib petani, menajdi petani saja kami gagal. Walaupun gagal, senang melihat aktivitas masing-masing dan memiliki keluarga bahagia.  Salam bahagia untuk Sihombing yang iseng saja lulus PNS, Tarigan yang ambisi pengusaha juga menjadi ASN,  Sitanggang juga ASN, si Manik menjadi pengusaha yang terus konsisten melayani di gereja. Tinggal saya menjadi petualangan yang tak berujung.  

Di tengah petualangan hidup tak berujung, kita menitipkan nasib petani kepada Jokowi. Petani itu  akan sejahtera jika Negara hadir membawa kebijakanya.  Jika Negara hadir  dikehidupan petani, maka secara otomatis pemuda milenial akan tertarik menjadi petani. Jika Negara hadir bagi petani, maka menjadi petani itu keren bagi milenial. Negara harus membangkitkan semangat milenial untuk menjadi petani.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Worklife Selengkapnya
Lihat Worklife Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun