Mohon tunggu...
Gurgur Manurung
Gurgur Manurung Mohon Tunggu... Konsultan - Lahir di Desa Nalela, sekolah di Toba, kuliah di Bumi Lancang Kuning, Bogor dan Jakarta

Petualangan hidup yang penuh kehangatan

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Perbedaan Menjadi Sumber Ilmu dan Wawasan

4 Juni 2020   07:38 Diperbarui: 4 Juni 2020   07:38 1044
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Jika berbicara sara di dunia maka kita mengingat  Nelson Mandela, Martin Luther King Junior dan  Abdurahman Wahid yang dikenal dengan Gusdur.  Mereka adalah tokoh jenius yang  ketika mengingat mereka maka semangat hidup kita akan membara dan kadang menangis karena terharu.  

Mereka adalah tokoh yang luar biasa untuk kebajikan. Saya belum pernah mengenal disebut  tokoh di dunia yang masih membeda-bedakan sara. Sebab, mengetahui kehidupan orang yang berbeda dengan kita adalah wahana ilmu pengetahuan. Tidak ada manusia yang wawasanya kerdil menjadi tokoh atau panutan bagi orang lain.

Andaikan Gusdur tidak pernah jadi Presiden Republik Indonesia maka  Barongsai tidak sebebas yang sekarang. Kini Barongsai menjadi salah satu ilmu pengetahuan yang dapat dipelajari. Alangkah hebatnya, jika orang Batak, Jawa, Toraja, Papua, Aceh, Padang, Palembang, Lampung, Dayak, Banjar, Manado, Sangir Talaud, Ambon dan semua suku di Indonesia   memahami dan menceritakan hebatnya Barongsai. Betapa kagumnya melihat orang-orang Barat belajar tortor (tarian Batak) dan kesenian Sunda, Jawa, Aceh dan lain sebaginya.

Jadi, perbedaan sara, adat istiadat adalah sumber ilmu pengetahuan yang dahsyat. Sayangnya, selama ini kita terjebak dengan opini bahwa ilmu pengetahuan itu adalah ilmu eksakta atau teknologi. Karena itu di SMA dan ketika kuliah ilmu eksakta itu seolah lebih keren dengan sastra dan ilmu sosial. 

Saya yang berlatar belakang eksakta kini sadar bahwa ilmu sosial, hukum dan sastra itu sangat menarik dan dahsyat.  Saya sedih ketika menulis bahasa dan pemahaman sastra saya begitu sangat terbatas. Padahal, menulis itu membutuhkan kemampuan bahasa dan sastra. Tidak hanya pengetahuan bahasa dan sastra, menulis juga membutuhkan wawasan budaya dan sejarah.

Dalam perenungan saya sebagai orang yang senang menulis, betapa  hebatnya andaikan saya mengerti budaya Papua, Sangir Talaud, Ambon,  Manado, Gorontalo, Dayak, Banjar,  Bali, Jawa, Melayu, Betawi, Sunda, Banten, Lampung, Palembang, Suku Anak Dalam, Sakai, Minang, Aceh dan lain sebagainya. Tidak mungkin saya ketahui akan beragamnya budaya kita jika saya rasis, bukan?.  Langkah awal untuk mengetahuinya adalah mencintai budaya mereka. Bahkan, kalau lebih dalam memahami budaya suku tertentu, kita tinggal bersama mereka.

Di Sumatera Utara ada seorang suku Jawa bernama Soekirman. Soekirman kini adalah Bupati Serdang Bedagai. Soekirman sangat mendalami bahasa dan sastra Batak. Karena itu suku Batak sangat mencintainya.   Saya pikir, ketika dia calon Bupati, pastilah banyak orang Batak yang fanatik kepadanya. Karena, ketika kampanye pendekatanya adalah budaya dan sastra Batak.

Suatu ketika, saya membaca artikel  tokoh Islam yang sangat terkenal yaitu Ulil Absar Abdalla. Ulil menulis tentang kebangkitan Yesus. Tulisan Ulil sangat dalam dan tidak ada satupun kristen menolak  atau tidak setuju dengan tulisannya. Sebaliknya, bisakah orang Kristen, Budha, Hindu, dan yang lain menulis Islam tanpa satupun yang tidak setuju?. Ulil menulis dengan benar karena cinta kemanusiaan dan cinta budaya dan perdamaian. Ulil tidak sekedar toleransi tetapi Ulil orang yang berempati. Karena Ulil menulis dengan hati dan cinta.

Di kampung saya di Toba ada yang menarik dari perbedaan agama. Ketika saya menikah, undangan kami yang muslim ada 3 -- 5 keluarga.  Undangan lain yang bukan Islam lebih dari 100 keluarga.  Tetapi, karena ada 3-5 keluarga muslim, maka yang dipotong  adalah kerbau. Padahal, dari segi  biaya lebih murah memotong babi.  

Ketika harus memotong kerbau untuk toleransi, ada muncul masalah. Masalahnya adalah harus muslim yang memotong kerbau. Muslim yang biasa memotong kerbau di kampung kami sudah meninggal. Solusinya adalah anak dari muslim yang biasa memotong kerbau, tetapi belum pengalaman memotong kerbau. Walaupun belum pengalaman, karena tidak ada pilihan, maka  dialah yang memotong. Dan, ketika memotong ada sedikit masalah. Cara potongnya tidak pasa. Tetapi, itu adalah pengalaman yang amat berharga.

Beberapa waktu lalu, saya membawa beberapa sahabat saya yang muslim mengelilingi Danau Toba. Saya ingin mereka menikmati makanan khas Samosir yaitu ayam pinadar (ayam dibakar dengan bumbu khusus).  

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun