Mohon tunggu...
Gurgur Manurung
Gurgur Manurung Mohon Tunggu... Konsultan - Lahir di Desa Nalela, sekolah di Toba, kuliah di Bumi Lancang Kuning, Bogor dan Jakarta

Petualangan hidup yang penuh kehangatan

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Kalibrasi Covid-19 untuk Menguji Makna Keberlanjutan Hidup Kita

27 Mei 2020   08:57 Diperbarui: 27 Mei 2020   08:53 177
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Tahun 1972  diadakan Konfrensi Tingkat Tinggi (KTT) Bumi di Stocholm, Swedia sebagai wujud kepedulian  dunia terhadap perubahan kualitas lingkungan.  KTT Bumi kemudian  membuat World Commision on Environment and Development  (WCED) tahun 1983,    kemudian  terus-menerus mengalami pembaruan dan kini kita kenal  Sustainable Development  Goals (SDG's).   

Konsep SDG's itu adalah memastikan bahwa pembangunan itu berkelanjutan secara adil. Konsep itu  tujuannya untuk menyiasati ancaman yang paling  mengerikan yaitu Pemanasan Global. Ancaman yang jauh lebih dahsyat dari Covid 19.

Secara logika sehat, jika kita sudah mempersiapkan  diri untuk ancaman yang sangat besar, sejatinya kita sudah kuat  melewati ancaman yang lebih kecil.  Mengatasi Covid 19  dengan mengatasi pemanasan global (global warming) sangatlah jauh berbeda.  Persamaannya adalah harus diatasi secara bersama.  Covid 19 dapat kita atasi jika kita taat kepada protokol kesehatan, pemanasan global  (global warming ) dapat kita atasi jika kita  berperilaku ramah lingkungan. Baik individu, komunitas, Negara dan seluruh warga dan Negara  yang ada di bumi.

Badan Pusat Statisti  (BPS) tahun 2015 telah membuat dan menyebarkan ke seluruh rakyat Indonesia, terutama para pengambil kebijakan di negeri ini indikator pembangunan berkelanjutan secara detail.  Indonesia telah meratifikasi  pembangunan berkelanjutan dari Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB).  Karena itu, Indonesia harus memberikan kontribusi untuk memperbaiki kualitas bumi.  Secara garis besar indikator itu adalah ekonomi, sosial dan lingkungan. 

Covid 19 datang  di akhir tahun 2019 di Wuhan  dan sampai di Indonesia sekira bulan Pebruari 2020.  Covid 19  melakukan kalibrasi atau menguji   apakah konsep pembangunan berkelanjutan berjalan dengan baik selama ini.  Di berbagai  sector  pembangunan di uji seperti  dunia farmasi, kesehatan, pertanian, perikanan, peternakan, transportasi, industri, UMKM, perbankan, perdagangan, pariwisata, dan berbagai sektor merana.   Terbukti sekali bahwa kebutuhan kita selama ini tidak dikelola secara berkelanjutan. Daya tahan  kita rapuh  di semua sector rapuh. Ketiadaan bahan baku bagi industri farmasi, alat kesehatan, industri rumah tangga, bahkan untuk bahan baku masker saja harus impor.

Kebutuhan obat ketika Covid 19  datang dunia farmasi mengeluh. Sejatinya perusahaan farmasi meraup untung, tetapi  Badan Usaha Milik Negara (BUMN)  seperti  PT. Kimia Farma, PT, Biofarma,  PT. Phapros dan swasta  mengeluh dan terancam rugi.  Mengapa?.   Ternyata,  menurut menteri BUMN Erick Tohir  bahwa bahan baku Farnasi kita bahan bakunya dari luar negeri sekitar 90 %. Hal itu juga diakui pimpinan perusahaan BUMN Farmasi di Rapat Dengar Pendapat (RDP) di Komisi VI DPR RI.  

Berbagai  Perguruan Tinggi (PT)  seperti UI, UGM, UNAIR, USU, IPB dan berbagai PT memiliki kemampuan untuk meneliti bahan-bahan obat lokal untuk menyembuhkan diri kita sendiri.  Di beberapa daerah terbukti jamu yang diproduksi Gabungan Pengusaha Jamu dan Obat Indonesia  menyembuhkan Covid 19.  Teman saya yang ahli farmasi menjelaskan dan membuktikan  bagaimana jamu ramuannya bisa menyembuhkan Covid 19 dengan meramu obat meningkatkan imunitas. 

Artinya, bahan obat di sekitar kita tersedia, hanya selama ini kita terlena dengan proses distribusi barang impor  dengan angka komisi dan untung dagang.  Ketika Indonesia tidak memiliki satupun perusahaan yang produksi ventilator, faktanya ahli kita dari ITB mudah untuk membuatnya.  Kesulitannya justru memperbanyak ventilator itu. Andaikan ventilator diproduksi selama ini, maka kita tidak akan kesulitan. Mengapa ventilator semuanya impor, sementara ahli pembuat ventilator kita  ada?.

Indikator kegiatan  industri  yang berkelanjutan (sustainable) atau tidak adalah  ketersediaan bahan baku yang ramah lingkungan, atau bahan baku yang paling dekat dengan  konsumen atau lokal. Karena  jika bahan baku dari jauh atau impor  maka  jumlah polusi pengangkutan lebih banyak dibandingkan bahan baku lokal. 

Esensi utamanya adalah industri  hadir untuk kebutuhan manusia. Pertimbangan  minimal polusi dan tata niaga yang panjang tidak menjadi pertimbangan selama ini. Industri kita terjebak dengan harga kualitas. Padahal kualitas  barang dapat ditingkatkan jika memiliki komitmen.  Komitmen untuk pro lingkungan agar berkelanjutan.  Industri berkelanjutan jika bahan baku, proses industrialisasi ramah lingkungan (zero west).

Melihat kenyataan  seperti  petani diberikan beras, mie, gula, daging  dan banyaknya jumlah penduduk penerima Bantuan Langsung Tunai (BLT) menjadi bukti nyata kegagalan kita  mewujudkan Susatainable Development Goal's (SDG's).  Pertumbuhan ekonomi  pemerintahan Jokowi  4,88 % tahun 2015 menjadi 5,17 % tahun 2018, dan  5, 06 %  di tahun 2019 menjadi tak bermakna ketika  petani diberikan sumbangan beras. Petani diberikan beras dan daging karena Covid 19 baru   hitungan hari sangatlah ironi. 

Kita memahami bahwa krisis apapun sejatinya petani kita bertahan karena aneka ragam makanan ada di desa. Desa memiliki lahan  pertanian, perikanan, peternakan untuk kebutuhan mereka. Modal itu tidak hanya cukup untuk kebutuhannya jika dikelola dengan baik. Bahkan, mereka diharapkan memberikan kontribusi untuk kebutuhan kota. Selama ini hubunga kota dan desa terputus.

Hubungan Desa dan Kota diharapkan bahwa hingar bingar kota tergantung  Desa. Tetapi realitanya adalah  Desa tergantung dengan kota. Produk pabrikan masuk desan karena  infrastruktur yang dibangun dengan baik. Gaya hidup desa berubah.  Pulsa  telepon dan paket internet digunakan rakyat Desa bukan mengetahui  harga hasil pertaniannya  di kota. Tetapi untuk kebutuhan yang tidak begitu urgen.  Bukti lain bahwa kita tidak membangun secara berkelanjutan adalah  lahan lahan  Desa berubah fungsi dari pertanian.  

Pemerintah mengembangkan konsep eko- wisata tetapi lahan petani berubah pemilik.  Contoh konkrit yang keliru  dalam konsep pembangunan berkelanjutan (sustainable development) adalah  ketika Danau Toba menjadi destinasi wisata  super prioritas pemerintah pusat.  Dampaknya adalah tanah-tanah dipinggiran  Danau  Toba terjual oleh penduduk lokal.

Covid 19 telah  kalibrasi atau menguji  konsep pembangunan berkelanjutan (sustainable development). Covid  19 membuktikan kegagalan itu, maka inilah momentum kita untuk komitmen  membangun dengan konsep pembangunan berkelanjutan yang telah kita ratifikasi.  Dengan demikian, kita  memberikan kontribusi besar untuk menyelamatkan bangsa kita dan bumi. Konsep pembangunan berkelanjutan mutlak kita kerjakan jika bangsa kita  hendak memiliki peradaban tinggi.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun