Sebagai antitesis dari kepemimpinan nasional yang koruptif, sosok Jokowi menjadi parameter baru kriteria pemimpin bangsa yaitu: humanis, sederhana, berprinsip, rendah hati, berani, bermartabat dan merakyat. Jokowi mendobrak tradisi politik kaku nan beku dan protokoler yang acap kali menjauhkan pemimpin dari rakyatnya. Gaya kepemimpinan Jokowi orisinil, tidak dibuat-buat, terkesan apa adanya dan tidak mengada-ada. Para tokoh politik dan pejabat negara dibuat kagok. Pada suatu titik mereka menemukan betapa gaya kepemimpinan yang selama ini mereka sajikan telah usang. Tidak terkecuali gaya kepemimpinan SBY secara diametral ditantang sedemikian rupa oleh tradisi politik baru yang melekat pada seorang anak tukang kayu. Setelah berpuluh-puluh tahun lamanya mencari, rakyat menemukan kejumudan sosok dan nilai-nilai kepemimpinan, bukan pada sosok Presiden, Menteri, Pejabat Negara, Tokoh Agama melainkan pada sosok kurus bersahaja. Nampakya mata batin rakyat sudah terbuka untuk menilai sosok kurus bersahaja ternyata jauh lebih baik dibandingkan dengan sosok yang tinggi besar, tampan mempesona dan gagah berwibawa.
Jokowi adalah manusia biasa. Ia betul-betul bagian dari kita. Apa yang membedakan Jokowi dari orang kebanyakan adalah bahwa Ia mempunyai keberanian untuk bertindak dan mewujudkan visinya. Tidak mungkin semua mata tersihir dan terpesona oleh sepak terjangnya apabila apa yang diyakini dan dilakukan tidak orisinil. Bentuk pengakuan atas gaya kepemimpinan dan kinerjanya adalah kehendak masyarakat supaya Jokowi menjadi Presiden Republik Indonesia. Dapatkah dibayangkan betapa galaunya perasaan para tokoh-tokoh politik seolah-olah rakyat tidak memandang yang lain selain Jokowi? Terlepas dari Jokowi yang fenomenal dan menjadi kesayangan publik dan media, pertanyaan penting perlu diajukan yaitu bagaimana secara sadar dan terencana kita bisa "mencetak jokowi-jokowi yang lain"?
Banyak pelatihan-pelatihan kepemimpinan yang diselenggarakan di negara kita namun saya yakin gaya dan pola kepemimpinan Jokowi tidak diperoleh dari pendidikan dan pelatihan semacam itu. Kalau dirunut tentang riwayat hidupnya pada saat beliau belajar di UGM, Jokowi juga tidak pernah menjadi aktivis mahasiswa. Setelah selesai kuliah Jokowi sempat merantau ke Aceh dan baru pada tahun 1998 memulai usaha mandiri di bidang mebel. Tujuh tahun kemudian Jokowi menjadi Walikota Surakarta dan eksistensi serta kiprahnya mulai dikenal sampai fenomenal seperti sekarang ini. Jadi dapatkah dikatakan bahwa Jokowi merupakan "kecelakaan sejarah yang indah"? Tentu saja tulisan ini tidak hendak menghakimi bahwa pelatihan-pelatihan kepemimpinan tidak berhasil mencetak pemimpin yang berkualitas. Namun semangatnya adalah bagaimana gaya dan pola kepemimpinan Jokowi bisa dijadikan inspirasi dan model supaya hadir jokowi-jokowi yang lain di Indonesia.
Jadi menurut hemat saya, tantangan terbesar selain mengusung Jokowi sebagai Calon Presiden RI ialah meng-ATM (mengamati, meniru dan memodifikasi) gaya dan pola kepemimpinan Jokowi. Walau bagaimanapun juga Jokowi hanyalah seorang saja sedangkan permasalahan bangsa Indonesia begitu rumit, kompleks dan saling terkait. Namun kepemimpinan Jokowi yang menginspirasi masyarakat hendaknya tidak disia-siakan begitu saja melainkan harus dikapitalisasi sedemikian rupa sehingga mempengaruhi pola kepemimpinan di masyarakat secara menyeluruh dari tingkat nasional hingga tingkat RT.
Kekuatan kepemimpinan Jokowi ada pada tindakannya yang empatik dan humanistik terhadap rakyat yang menjadi subyek pengabdiannya. Kiranya hal tersebut merupakan buah dari perenungan hidup batin dan olah-rasa asketik yang dijalaninya secara konsisten dan menjadi bagian dari hidupnya. Kualitas inilah yang menjadi pembeda dan pangkal orisinalitas tindakannya dibandingkan dengan kepemimpinan arus utama yang banal. Mungkin inilah yang sebenarnya disebut sebagai kecerdasan spiritual dan unsur ini tertangkap jelas oleh masyarakat dibandingkan kemampuan public speaking Jokowi yang rata-rata saja. Bandingkan dengan pidato pemimpin nasional yang serba sempurna namun tiada lain adalah pepesan kosong belaka alias tidak satunya kata dengan tindakan. Maka tugas kitalah untuk mencetak jokowi-jokowi yang lain untuk mencegah karamnya perahu kebangsaan kita dan mempercepat perubahan bangsa ke arah yang lebih baik lagi.
Salam dasyat kota Solo, dari Solo untuk Indonesia baru...!
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI