Mohon tunggu...
Guntur WN
Guntur WN Mohon Tunggu... -

Progressive Nationalist, Youth Leadership Enthusiast, Organizer, Ronin

Selanjutnya

Tutup

Politik

Jahatnya Intelektual Tukang

27 Oktober 2013   19:27 Diperbarui: 24 Juni 2015   05:58 463
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Kegaduhan politik sempat  terjadi akibat pro-kontra hasil survey capres yang dirilis oleh Lingkaran Survey Indonesia (LSI). Survey tersebut merilis hanya 3 partai politik  yakni Golkar, PDI-P dan Demokrat  yang diprediksi mampu mengusung capresnya sendiri. Ditambahkan pula bahwa nama Jokowi dan Prabowo, meskipun elektabilitasnya tinggi, tidak dimasukkan ke dalam survey  dan disebut sebagai capres wacana. Kemudian baru terungkap luas ke publik apabila LSI merupakan konsultan Partai Golkar. Sangat sulit untuk menepis dugaan bahwa survey ini dilakukan pertama dan utama bukan atas kehendak murni LSI melainkan karena pesanan dari klien, Partai Golkar.

Kalau kita mencoba kilas balik ke belakang, banyak lembaga survey dan konsultan politik yang rata-rata datang dari dunia akademis menjadi konsultan politik bagi partai politik, calon-calon kepala daerah dan legislatif. Mereka datang dengan membawa ilmu statistik, metode penelitian kualitatif-kuantitatif dan seperangkat metodologi ilmiah lainnya sebagai senjata untuk meyakinkan klien. Perang survey dan data pun dimulai, saling  rilis tingkat elektabilitas dan popularitas dengan tujuan untuk merebut persepsi publik serta meningkatkan elektabilitas klien. Media massa dan media sosial menjadi arena peperangan baru dan masing-masing mengklaim menggunakan metodologi yang bisa dipertanggungjawabkan secara ilmiah beserta argumentasi-argumentasi pelengkap lainnya.

Bisa dikatakan arena pilkada, pileg dan pilpres menjadi tambang emas baru bagi para akademisi yang terjun sebagai konsultan-konsultan politik. Bak gayung bersambut, partai politik pun merasa perlu untuk meng-upgrade sekaligus meng-update metode dan perjuangannya dengan cara-cara baru yaitu strategi pencitraan, kemasan media yang menarik serta kalkulasi-kalkulasi politik yang informatif dan prediktif. Disini terjadi proses take and give (resiprositas) antara akademisi dengan pelaku politik praktis. Betul-betul perkawinan yang menguntungkan di antara kedua belah pihak. Sampai di sini tidak ada yang salah artinya para konsultan publik menyediakan jasa dan pelaku politik membeli jasa tersebut. Sebuah transaksi yang sah. Namun secara etis ketika lembaga survey maupun konsultan politik merilis sebuah survey yang mempengaruhi opini dan persepsi masyarakat, selain metodologi survey yang diterangkan, publik berhak tahu latar belakang, motif dan sponsor/donatur dari survey tersebut. Poin ini sangat penting sebab apabila para akademisi atau konsultan publik menyembunyikan informasi yang mana sepantasnya publik tahu atau bahkan melakukan pembohongan publik maka sejatinya mereka sudah menjadi Intelektual Tukang.

Intelektual tukang sebenarnya transliterasi dari istilah yang dipopulerkan oleh  Julien Benda lewat bukunya yang berjudul " la trahison des clercs" (1927) , terjemahan inggris "The Treason of the Intellectuals". Pengkhianatan kaum intelektual sudah bukan merupakan barang baru lagi. Secara ringkas Benda menandaskan bahwa kaum intelektual atau cendekiawan sebenarnya mempunyai tugas khusus yaitu mencari dan menyampaikan kebenaran lewat ilmu pengetahuan demi kebenaran itu sendiri. Namun begitu para intelektual tersebut mendedikasikan ilmunya pada kepentingan politik praktis, tentunya tujuannya bukan lagi mencari kebenaran itu sendiri melainkan mentransaksikan ide-ide teknik tertentu demi imbalan material, maka intelektual tersebut sudah menjadi intelektual tukang. Intelektual tukang bekerja berdasarkan pesanan, tidak berdasarkan hasratnya untuk mencari kebenaran.

Sama halnya dengan akademisi perguruan tinggi, pengamat politik maupun intelektual yang terlibat dalam pemerintahan dan partai politik. Beberapa pengamat politik masih setia mengejar kebenaran sedangkan saat ini bagi intelektual yang terlibat dalam pemerintahan dan partai politik akan sangat berat mempertahankan idealisme kebenaran yang diyakininya sehingga sangat mungkin mengkompromikan kebenaran yang diyakininya atau terlempar dari panggung politik. Kecenderungan yang terjadi ialah mereka diam dan berkompromi terhadap kekuatan politik arus utama. Disadari atau tidak peran historis intelektual di Indonesia semakin meredup dan gantinya ialah tumbuh suburnya intelektual-intelektual tukang.

Intelektual tukang betul-betul jahat dan merusak negara kita sebab bekerja berdasarkan pesanan dan kepentingan politik-ekonomi praktis. Mereka bisa membuat rasionalisasi, justifikasi dan rekayasa supaya suatu tindakan dan manipulasi dibuat sedemikian rupa sehingga mendapatkan legitimasi. Mereka bekerja dalam ruang-ruang simbolik dan membuat mesin-mesin hegemonik baru serta mekanisme reproduksinya  yang ditawarkan kepada masyarakat sehingga masyarakat melihat itu bukan sebagai suatu kesalahan melainkan hal yang wajar. Salah satu kerusakannya adalah demokrasi transaksional dan berbiaya mahal dimana rakyat digiring untuk berpikir dan merasakan bahwa  hal itu merupakan suatu kewajaran.  Masalahnya saat ini stok inteletual tukang di Indonesia sangat melimpah.

Ketika Pilkada, Pileg dan Pilpres menjadi industri politik, suara rakyat hanyalah deretan angka di statistik dan kartu suara pemilih adalah komoditas yang bisa ditambah maupun dikurangi dengan mencari cara dan metode cepat untuk memanipulasinya. Pemilu dianggap tidak lebih sebagai permainan dimana pemain yang paling lihai dengan dukungan logistik yang memadai yang mampu mengkondisikan dan mencurangi hasil pemilu. Semakin lama permainan money politic menjadi semakin halus disamarkan menjadi program bantuan sosial. Quick Count pun bisa didisain sedemikian rupa untuk menggiring persepsi publik terlebih dahulu. Ke depan, kecurangan-kecurangan pemilu akan lebih massif, sistematis dan sulit untuk dilacak dan semuanya itu terjadi atas jasa intelektual-intelektual tukang yang menjadi auctor intelektualis-nya. Kalau sudah begitu, dimanakah suara rakyat yang sebenarnya?

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun