Kota yang tak pernah tidur, memandang desaku dari kejauhan. Ada guratan kecemburuan di dahi kiri dan mulai menua. Disekanya peluh yang terus saja mengalir, tak pernah berhenti dikuras ketamakan. Mungkin telah lelah.
Dihirupnya udara pagi lewat kantong yang sengaja disimpan di saku bajunya. Sebab, udaranya telah penuh bau kemenyan dan kecurigaan.
Lewat bola matanya yang telah letih, ditatapnya miris manusia yang tak pernah puas berlomba mengejar, tentang sesuatu yang ditinggalkan dan meninggalkannya.
Kota yang tak pernah tidur itu memanggil di kejauhan. Dirawatnya sebait puisi yang tersisa. Tempatnya nanti untuk kembali.
Sinjai, 3 Oktober 2020
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H