Aku tahu ada sesak di matamu, kemarin di tepi resah yang telah tandas oleh malam. Lalu aku bertanya di keningmu, pintu yang mana harus kulalui?. Bukankah bulan yang telanjang itu, telah membuka diri untuk kau temui?.
Lantas untuk apa lagi kita berdusta. Tatkala hujan terlanjur jatuh dan basah, pada airnya yang tak pernah memilih siapa. Lalu kemarau hanyalah kenangan tanpa nama, yang pada debu dan panasnya tak memilih kemana.
Semestinya kita meniru itu. Berbagi tak harus memilih siapa dan untuk apa. Andaikan boleh, terkadang aku ingin seperti rumput liar. Tumbuh sesukanya di mana saja, berbaur dengan siapa saja. Meskipun ia sadar, tak semua tanaman menyukainya.
Buat apa kita menjulang tinggi layaknya pohon pinus. Indah memang, tapi tak bisa dipetik karena durinya. Tinggalnya pun harus di tempat yang sejuk.Â
Sampai di sini, masih inginkah kita berdusta?. Saat hujan terlanjur jatuh dan basah, pada airnya yang tak pernah memilih siapa.
Sinjai, 6 Juni 2020
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H