Kita adalah bidak-bidak catur yang didenyutkan waktu. Berdiri dan bergerak pada ruang yang tak seberapa luas. Lalu langkah adalah perenungan panjang demi hidupnya sang Raja.
Kita adalah bidak-bidak catur yang tak mengenal kata mundur. Berdiri di garis paling depan dengan jumlah digit paling banyak. Menjadi tameng hari ini, menjadi tumbal di hari yang lain.
Jangan pernah tanyakan mengapa harus begitu kawan?, sebab demi strategi, bidak-bidak catur cuma punya dua pilihan dalam setiap pertarungan, berkorban atau dikorbankan.
Bidak-bidak catur hanyalah alat. Demi Raja, maka matinya adalah kewajaran, dan tanpa Raja, hidupnya adalah kekalahan.
Di kolong jembatan, di pinggiran kali, di tempat-tempat kumuh, di depan emperan-emparan toko. Bidak-bidak catur saling menatap sambil menunggu hari.
Terserah kapan waktunya tiba, diminta berkorban atau dikorbankan oleh penguasa.
Sinjai, 21 Mei 2020
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H