Anak yang ingat rumahnya itu, menyimpan cinta di saku bajunya. Dipendamnya rindu yang tak jadi pulang di atas meja dekat pembaringannya. Sambil merapikan hatinya yang berkabut, tangannya beranjak menyangkutkan gelisah di dinding-dinding kamarnya, sepi.
Lalu, ditulisnya sepucuk surat kegetiran di wajah ibunya dalam foto. Ada tangis di situ, membuncah lalu pecah di bantalnya, basah.Â
Terbayang tahun kemarin. Dalam erat dekapan ayahnya yang mulai merapuh, pada tatapan mata ibunya yang lembab sejak kemarin, ia pamit untuk merantau, pergi.Â
Pada perih yang menggantung di samping cerminnya. Ia berucap lirih, "Maafkan anakmu ibu. Ramadhan ini, aku tidak bisa pulang menciummu. Jangan lupa, sampaikan juga salamku pada ayah, katakan, aku belum bisa pulang memeluknya, perih.
Anak yang ingat rumahnya itu lalu terdiam . Di tariknya selimut kesedihan, dibaringkannya tubuh kekalutan, di sini, di kamar pengasingan, untuk pasien pandemi.
Sinjai, 7 Mei 2020
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H