Dia, yang menakar bulir-bulir embun di matanya. Menyendiri ditepian angan. Menatap mimpi dari tebing keresahan. Dihalaunya cemas dari pintalan-pintalan asa yang nyaris karam.
Seketika dahaga mencekik tenggorokannya. Walaupun sering, tapi tak ada yang bisa dia lakukan, selain meminum air dari gelas-gelas keletihan.Â
Lalu, dipandanginya hari yang terus bertukar antara siang dan malam. Dikemasnya kegalauan pada ingatan yang terlanjur kerdil, tentang pematang yang tak lagi mampu menjaga padi, tentang sungai yang telah lama kehilangan ikan-ikan, atau tentang surau yang halamannya kini ditumbuhi semak belukar.
Kemudian lapar mencekak lambungnya. Meskipun selalu, namun tak ada yang mampu dia harapkan, selain mengunyah air liur yang kian hari kian manis.
Seakan tak mampu menghalau terik kegundahan, bola matanya yang dulu lebar sekarang semakin picing. Dan, kepala yang cuma sebesar kepalan tangannya itu, kini semakin hari semakin mengecil, susut terlindas kekalutan.
Dia, yang menakar bulir-bulir embun di matanya. Dipaksa menyukat, agar tersisa untuk kecewanya esok hari.
Sinjai, 3 Mei 2020
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H