Bulan yang sepotong, timbul tenggelam diusik awan. Gerah mendera waktu di matanya. Dirayunya paras malam yang telah lama melupa senyum dengan riuh puisi rindu yang lapuk kehilangan pujangga.Â
Lalu, bait-bait tertulis di kepala orang-orang yang bersembunyi, yang dilehernya berkalung petuah-petuah kecemasan dan kaki-kakinya terikat nasehat-nasehat kegelisahan.
Simalakama telah dimakannya dari piring-piring yang mulai retak. Entah kemana hidupnya sepotong hari ke depan, sebab sepotongnya lagi telah menguap bersama ketidakjelasan.
Sungguh, orang-orang yang bersembunyi di bawah tatapan bulan yang sepotong itu. Kini, tertidur lusuh tanpa mimpi. Di sampingnya, masih tergeletak berhamburan, piring-piring yang telah retak.
Sinjai, 29 April 2020
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H