Hari ini, aku membacakan bait-bait puisimu di atas mimbar tanpa jendela. Bercengkrama pada larik-lariknya di jalan-jalan yang terlupa untuk diaspal. Mengeja kata demi kata di atas bangunan megah tanpa pemeliharaan. Meneriakkan diksi-diksinya di sungai-sungai tak berjembatan.
Jangan pernah mengira, malam-malamku adalah hanya tentang kesepian dan goresan-goresan ketakutan akan kegelapan. Lalu melafalkannya di saat lelap terjebak fajar, yang kemudian pikun kala terbangun, menganggap pagi hanyalah perulangan peristiwa.
"Aku bukan manusia seperti itu", tegasku. Aku adalah kepompong yang selalu berharap menjadi kupu-kupu. Aku adalah keresahan pada kebijakan tak berpihak. Aku adalah kekalutan pada ketentuan yang keadilannya terabaikan.
Pada mereka yang masih saja setia menanam kecurigaan. Untuk mereka yang hanya tahu menimbun kebencian. Bagi mereka yang cuma mampu menumpuk kemunafikan. Bait-bait puisimu ini aku perdengarkan di atas panggung tak berpintu, di bawah atap kedangkalan, dan pada sekat ketertinggalan.
Sinjai, 30 Juni 2019
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H