Di era moderen seperti saat ini, di tengah hiruk pikuknya arus transformasi yang semakin liar, seyogyinya kaum perempuan membekali diri dengan berbagai kemampuan untuk bisa tampil mandiri, kreatif dan penuh inovatif dalam menggabungkan dirinya di ruang publik. Â Sebab hal inilah yang bisa mencegah kerancuan persepsi sebagian perempuan moderen dalam menanggapi fenomena pergeseran budaya yang semakin kuat menerpa kesehariannya.
Perempuan sejatinya tidaklah meninggalkan perannya dalam menjalani era kertebukaan seperti sekarang ini. Â Penafsiran keliru tentang proyek emansipasi mestilah dihijrahkan dari pemahaman entitas menuju kualitas. Â
Sudah bukan saatnya peran perempuan bergerak hanya di wilayah mengatasnamakan gender, akan tetapi lebih dari itu mestilah melangkah merubah mindset pemikiran dalam melihat kehidupan secara universal.
Tak bisa dipungkiri, sumbangsih perempuan dalam dunia nyata memiliki peran penting hampir di setiap sektor kehidupan. Â Tinggal bagaimana mereka mampu memilah lalu memilih dan memamfaatkan peluang tersebut untuk bisa menjadikannya bukti bahwa mereka memang pantas bergerak bersama kaum adam, bukan malah terbelenggu pada lingkaran pemahaman atas nama gender lalu memposisikan diri pada semua bidang yang notabene makin menjauhkan figur perempuan itu sendiri seperti yang dicita-citakan Kartini sebelumnya.Â
Perempuan moderen mestinya adalah mereka yang mampu menggali potensinya, menunjukkan karyanya tanpa melupakan hakikat kewanitaannya. Â Perempuan-perempuan seperti inilah yang dibutuhkan negeri ini, bukan mereka yang terkungkung pada kehidupan dapur, sumur dan kasur ataukah mereka yang cuma mampu mempertontonkan keindahan dan kemolekan jasadnya tapi tidak memiliki bias yang bisa dijadikan kebanggaan dari segi kemampuan intelegensi.
Kesetaraan gender haruslah diartikan luas namun terkendali, bebas tapi bertanggung jawab. Pemaknaan emansipasi mesti segera dikembalikan ke pemahaman sesuai konsep pengertian Kartini sebelumnya, dimana kaum perempuan pribumi diperjuangkan agar memperoleh akses dan pengakuan yang sama dalam hal menuntut ilmu seperti pria. Â
Hal ini disinggung oleh Ibu Kartini dalam suratnya kepada Prof. Anton dan Nyonya, 4 Oktober 1901, "Kami disini memohon diusahakan pengajaran dan pendidikan anak-anak wanita, bukan sekali-kali karena kami menginginkan anak-anak wanita itu menjadi saingan laki-laki dalam hidupnya. Â Tapi karena kami yakin akan pengaruhnya yang besar sekali bagi kaum wanita, agar wanita lebih cakap melakukan kewajibannya yang diserahkan alam (sunatullah) sendiri ke dalam tangannya : menjadi ibu, pendidik manusia yang pertama-tama".
Kartini seperti yang kita ketahui adalah wanita yang hidup di era feodalistik yang kental, mempertanyakan perlakuan adat Jawa yang menurutnya telah mengkungkung kebebasan sesamanya, membatasi ruang gerak serta membunuh potensi pengembangan diri yang dimiliki kaum hawa pada masa itu. Â Hal inilah yang ingin dirubah dan diluruskan oleh seorang Kartini.Â
Namun seiring berjalannya waktu, cita-cita luhur yang dibawa Kartini dulu mulai bergeser arti dan maknanya. Â Kartini bukan lagi menjadi ikon perempuan inspiratif intelektual yang saling melengkapi dengan kaum pria, tapi berubah menjadi brand dominasi emansipasi terhadap kaum adam. Â
Perjalanan pergeseran nilai ini diawali dari sebuah kekalutan memaknai kesetaraan gender, tatkala serangan arus globalisasi tak mampu terbendung, lalu mengaburkan pemahaman perempuan-perempuan masa kini yang tanpa sadar bergerak semakin jauh meninggalkan identitas kewanitaannya.
Emansipasi dan kesetaraan gender hanyalah dijadikan tameng demi mengejar obsesi duniawi. Â Batasan-batasan melalui budaya ketimuran yang sejatinya berfungsi pencegahan dan telah menjadi jati diri bermasyarakat sejak dulu, kini dianggap tidak lebih dari ajaran keliru yang mengebiri kebebasan. Â