Mohon tunggu...
Guntur Gozali
Guntur Gozali Mohon Tunggu... -

Blog more, share more...\r\nSemoga ada tulisan saya yang memberi inspirasi ke pembaca yg budiman

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Mereka Bukan Perangkat Investasi Kita!

2 Oktober 2012   11:59 Diperbarui: 24 Juni 2015   23:22 216
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

Apakah biaya membesarkan anak dari bayi hingga dewasa, mendidik mereka dari TK hingga Universitas, merupakan investasi kita atas anak2? Sehingga kita wajib menuntut imbal hasil atas apa yang sudah kita investasikan selama hidup mereka??? Tulisan saya ini terinspirasi dari pertanyaan salah seorang peserta training Basic Mentality yang regular saya berikan bagi seluruh karyawan di perusahaan saya. Dia menanyakan bagaimana caranya dia meyakinkan orang tuanya untuk menyetujui rencana yang dia anggap baik namun ditentang keras oleh ortunya dengan berbagai macam alasan. Dia sudah mencoba keras menjelaskan tetapi ortunya tidak mau mendengarkan, bahkan kadang2 bersikap seakan-akan dia adalah perangkat investasi yang sudah seharusnya memberikan imbal hasil (return on investment). Terus terang saya sedih mendengar cerita anak ini, tetapi ini bukan yang pertama saya dengar selama saya mengajar anak2 pintar ini.  Saya sudah sering mendengar perbedaan pendapat antara ortu dengan anak, baik yang kasusnya sederhana hingga memusingkan kepala. Menurut pendapat saya dua2nya benar, hanya saja tidak ada perantara di antara kedua belah pihak, sehingga diskusi yang seharusnya ada pemecahan menjadi debat kusir kemudian menjadi debat panas dan berujung pada perkelahian. Saya mencoba menuliskan pendapat saya yang mungkin bisa memberikan sudut pandang berbeda bagi sesama ortu maupun anak2/adik2 sehingga mudah2an bisa memberikan alternative solusi untuk mengatasi kebuntuan komunikasi antar ortu dengan anak2 ini. Jawaban atas pertanyaan ini saya bagi dalam dua tulisan, satu saya tujukan bagi sesama ortu dengan judul di atas, sedangkan satunya lagi bagi anak2/adik2 dengan judulThey always think the best for you. Tulisan saya ini tidak bertujuan untuk menggurui sesama ortu yang saya yakin jauh lebih bijaksana dan pintar daripada saya, juga tidak bertujuan menguliahi anak2 / adik2 yang juga sudah pandai2, tetapi sebagai bahan masukan saja dari pengalaman yang sempat saya amati dari kejadian di sekitar saya. Bagian pertama: They are not your investment Dua minggu yang lalu saya melayat ibu dari salah seorang kenalan saya yang juga merupakan pejabat penting salah satu bank terbesar di Indonesia. Beliau disemayamkan di salah satu rumah sakit di bilangan Slipi, Jakarta. Saya ketika itu terpaksa harus pergi sendiri karena rekan2 lain sedang sibuk dengan pekerjaan masing2. Setiba di lokasi, ternyata tidak banyak tamu yang hadir, mungkin karena masih sore dan orang2 belum pada pulang kerja. Namun kondisi ini ternyata malah memungkinkan saya untuk lebih leluasa mengobrol dengan kenalan saya ini. Setelah beberapa saat berbasa-basi ngalor ngidul, pembicaraan berujung pada masalah seputar anak. Kami pun saling bertukar informasi mengenai anak2 kami, ya biasalah kalau sesama ortu bertemu apalagi yang mau dibicarakan selain soal berapa anak sekarang, laki atau perempuan, sudah umur berapa, sekolah atau kuliah dimana, dll dll… Ketika kemudian saya tanyakan anaknya sekarang kuliah dimana dan mengambil jurusan apa, beliau tampak kurang gembira. Dia mengatakan begini: “Yang pertama sudah kuliah di US, dia mengambil Liberal Arts” “Liberal Arts??”, tanya saya, “Jurusan apa Liberal Arts nya pak? Karena saya sering dengar tapi belum pernah explore mengenai Liberal Arts ini” “Liberal Arts ada beberapa pilihan”, beliau menjelaskan, “bisa Philosophy atau Politics atau Economics atau Law, biasa disingkat PPEL” Hmmm…baru tahu saya J, karena memang saya benar2 tidak pernah mengeksplore jurusan2 ini. “Lha putera bapak milih jurusan apa??” tanya saya penuh rasa ingin tahu “Ya itulah, pusing saya. Dia tidak suka Law, apalagi Politics. Saya kira tadinya dia akan memilih Economics, ehhh gak suka juga. Jadi tinggal Philosophy lah pilihan terakhir” jawabnya masih terlihat tidak gembira. “Oooo…..”, begitu reaksi bego saya,”Terus kenapa pak kalau Philosophy? Ya biar aja kalau dia memang memilih itu dan dia seneng”. “Lohh…terus mau kerja apa? Mau jadi apa? Mau dapat duit darimana? Mana bisa hidup dengan ilmu seperti itu?” katanya gusar. Dhiengggg…. Saya langsung menangkap inti masalahnya. Judging, alias menghakimi. Hal yang sudah akrab saya dengar dari berbicara dengan berbagai ortu. Saya tersenyum tanpa saya sadari ketika itu, dan ini membuat beliau melotot: “Apanya yang lucu?” katanya. Gubrakkk…saya kaget sendiri menyadari ketidak sensitifan saya :P. Padahal senyuman saya itu karena seringnya saya mendengar cerita serupa dari mana2. “Pak…”, kata saya kalem, caileee gaya bener, “biarkan saja anak bapak memilih apa yang terbaik buat dia, asal kita sudah memastikan itu memang pilihan dia, bukan asal pilih. Biarkan dia mengejar apa yang menurut dia paling baik”. “Iya, saya sudah berulang kali menanyakan apa beneran mau ambil Philosophy, yang saya aja kagak tau nanti kerjaannya apa. Tapi dia sudah mantap bener katanya. Dasar kepala batu. Padahal mau cari duit pake apa coba dengan ilmu itu. Sudahnya dikuliahin mahal2 gak ada hasilnya, ehhh malah milih jurusan aneh2”, kata beliau masih tetap gusar. Hmmm…mau cari duit pake apa? Udah dikuliahin mahal2? Sayapun akhirnya tidak tahan lagi untuk tidak ngecipris seperti ini: “Pak, saya itu mengajar Basic Mentality untuk karyawan2 saya yang rata2 fresh graduate dari berbagai Universitas. Saya sering sekali mendengar keluhan mereka yang tidak senang IT tetapi atas usulan, dorongan atau paksaan ortunya akhirnya memasuki dunia IT. Sebagian besar memang bisa mengatasi ketidak sukaan mereka, namun ada juga yang tidak tahan dan akhirnya stress karena ortunya ingin anaknya dapat gaji besar dari industry IT yang katanya luar biasa itu. Sejauh yang saya perhatikan, yang benar2 berhasil dalam karier mereka adalah anak2 yang memang menjiwai dan menyenangi bidang ini. Selebihnya ada juga yang berhasil, tetapi rasanya mereka tempuh dengan stress yang lebih tinggi. Memaksakan anak2 sekarang untuk melakukan apa yang kita “anggap” benar dan paling baik, sudah tidak jamannya lagi lho Pak. Mereka sudah sangat canggih mencari informasi dan memutuskan apa yang “terbaik” bagi mereka. Meskipun kita tidak membabi buta menyetujui semua keputusan yang akan mereka ambil. Menurut saya apa tidak sebaiknya posisi kita hanyalah mengarahkan, memberi masukan dan men’challenge’ apa yang menjadi keputusan mereka”, oceh saya sok tahu “Kalau mereka sudah mantap, restuilah. Kalau belum mantap, maka tugas kita untuk menguji rencana mereka hingga mantap. Jika kita yang memutuskan bagi mereka, dan keputusan kita salah, maka kita akan dibenci seumur hidup anak kita. Namun jika keputusan yang mereka buat salah, dan mereka babak belur di kehidupannya, mereka pasti akan kembali dan nurut masukan / nasehat kita. Pilihannya adalah kompromi atau kuat2an. Kalau kompromi, masih bisa diselamatkan di kemudian hari. Kalau kuat2an, salah satu menang yang lain sakit hati, atau yang lebih parah lagi, putus di tengah2”, saya melanjutka kesok tahuan saya. Sampai disini kenalan saya itu tampak terkejut, saya hampir menyesal mengatakan hal itu karena saya pikir mungkin saya salah omong, namun untungnya beliau mengatakan:”Iya bener juga sih”. Fiuhh…untunglah, sayapun merasa mendapat angin dan melanjutkan: “Ada banyak kejadian, ortunya memaksa anaknya memilih jurusan yang tidak disukai anaknya. Setelah si anak memperoleh gelar dan sertifikat kesarjanaannya, dia serahkan ke ortunya, dan dia pergi untuk melanjutkan apa yang menjadi pilihannya dari dulu. Sedang bagi yang tidak mampu melanjutkan pilihan hidupnya, maka dia akan melakukan hal yang tidak dia senangi seumur hidup demi apa yang disebut dengan “berbakti kepada orang tua”. Dan pada kondisi tertentu bisa menyebabkan si anak menjadi stress dan menyimpan dendam.” Sampai disini kenalan saya itu tampak termenung-menung. Sayapun kemudian melanjutkan kotbah saya :). “Saya tuh pak, pernah mendengar cerita nyata, dimana si anak akhirnya tidak mau kembali ke ortunya karena ortunya beranggapan si anak harus melanjutkan bisnis keluarganya. Karena si ortu merasa sudah mahal2 membiaya kuliahnya ke luar negeri, maka si ortu BERHAK atas si anak, yaitu menyuruh dia kembali dan menggantikan ortunya. Menurut saya pandangan itu tidak tepat. Prinsip seperti ini mungkin bisa dipaksakan ke anak2 yang tidak mengenyam pendidikan tinggi. Namun bagi anak2 yang sudah memikul gelar sarjana apalagi sempat bersekolah ke luar negeri, sulit untuk dipaksakan. Banyak ortu (tentu tidak semua), terutama dari kota2 kecil, yang memiliki uang banyak, tanpa pernah mengalami pendidikan tinggi, mengirim anak2nya ke luar negeri, ke Singapore, Malaysia, Australia bahkan ke Eropa atau Amerika. Sekembali anaknya, mereka kaget kok anaknya jadi tidak seperti dulu lagi. Cara bicaranya beda, pandangannya berbeda, pilihan makanannya berbeda, semua berbeda. Kok jadi kayak bule sekarang, sedikit2 SH*T, sebentar2 F*CK, kalau marah keluar dua2nya. Ortu itu lupa bahwa selama 4 – 6 tahun anaknya berada di lingkungan bule, yang menomor satukan HUMAN RIGHT. Saya ingat salah seorang teman saya yang pindah ke Canada, setelah beberapa saat anaknya yang masih SD sekolah disana mengatakan begini :”Daddy, don’t push me to do that. I know my right, or I will sue you” (terjemahannya kira2: Papa, jangan paksa saya melakukan itu. Saya tahu hak saya, atau saya tuntut papa ke pengadilan). Coba berani ngomong begitu disini, kalau gak merah pipinya digampar oleh ortunya wkwkwkwk…. Nah ketika prinsip2, nilai2 atau idealisme2 baru itu masuk ke pikiran anak2, mereka sudah bukan our baby girl or boy lagi, mereka sudah menjadi pribadi2 yang merupakan kombinasi nilai2 keluarga yang kita ajarkan semasa mereka kecil dengan yang baru mereka terima selama kuliah. Lha kalau ORANG seperti ini kita paksakan dengan kehendak kita, apalagi mulai mengungkit-ungkit biaya yang kita keluarkan bagi mereka. Yahhh….bencanalah akhirnya. Perdebatan hingga perkelahian dan yang paling parah putus hubungan keluargalah ujungnya. Jadi kalau memang anak2 sudah memiliki keputusan bulat, sudah kita challenge keputusannya itu, dan dia mantap dengan hal ini, biarlah dia tentukan hidupnya sendiri”. Saya narik nafas bentar dan melanjutkan lagi. “Saya pernah berbicara dengan ortu yang sangat bijaksana, yang saya pikir merupakan solusi yang paling bijaksana yang pernah saya tahu. Beliau sama seperti cerita saya diatas, menyekolahkan anak2nya ke luar negeri. Kemudian si anak2 merasakan nikmatnya hidup di LN, tenang, damai, teratur, tidak ada serobot2an, tidak dikompasin orang, tidak dimintai uang oleh pegawai kelurahan untuk urus surat ini itu dlsb. Setelah anak2nya lulus, beliau meminta mereka melanjutkan usaha keluarga, sama juga seperti cerita saya di atas. Namun, anak2nya tidak mau. Mereka ingin hidup di negeri orang saja, daripada mengurus usaha ortunya yang menurut mereka kurang keren. Masa lulusan sekolah top di USA, ujung2nya jadi pedagang, mungkin demikian pikir si anak. Ya sudah, beliaupun tidak memaksa, malah mensupport usaha anak2nya. Tetapi, tentu saja aliran uang berhenti setelah mereka lulus kuliah dong. Mereka tentu harus hidup dan berjuang sendiri dong. Apalagi itu semua keputusan anaknya sendiri. Nah, pada saat2 masih single sih tidak apa2. Gaji pas2an, kontrakan seadanya, makanan itu2 aja dan hiburan secukupnya masih ok, wong masih single. Masih adventurer. Namun setelah menikah, dan memiliki anak, lain lagi ceritanya. Kompetisi kerjaan, kerasnya kehidupan, sama saja di belahan dunia manapun kita hidup. Sementara kalau pulang ke rumah ortunya di kampung, dilayani bak raja. Rumah ortunya segede istana, pembantu dan supir entah berapa. Semuanya pakai voice recognition (pengenalan suara), tinggal teriak “Mbakkkkk….minta makan dongggg”. Cringggg …. semuapun tersedia. Lha kalau di US, suami istri harus bekerja karena kalau tidak gaji nggak cukup, anak terpaksa dititipkan ke daily care kalau tidak bisa dipenjara atas tujuan penelantaran anak. Pergi pagi, pulang malem, sama seperti di Indo. Sabtu minggu beberes rumah, cuci baju dan mobil. Semuanya kudu dilakukan sendiri, beda dengan di rumah ortunya yang sudah pake voice recognition tadi. Setelah beberapa tahun, akhirnya si anak sadar juga. Ortunya kaya raya, usaha sudah mantap, tinggal dikembangkan, apalagi yang mau dipiih…dan akhirnya pulang meneruskan usaha ortunya. Akhirnya ceritanya happy ending.” “Sooooo….”, begitu saya mulai melanjutkan lagi”biarkan saja pak. Biarkan dia melakukan yang terbaik menurut dia. Beri dia kesempatan, asal sudah kita challenge keputusannya itu. Lagian siapa tahu dia bisa berhasil. Who knows? Lha wong orang jual bakso di dekat kantor saya aja sukses. Orang jual ayam goreng doang juga sukses. At the end kan urusan perut juga yang dicari :), daripada sekarang kita paksa diluar kemauan mereka. Iya kalau berhasil, semuanya happy ending. Kalau gagal??? Pasti ortu yang disalahkan sampai mati” demikian saya tutup keceriwisan saya." Beliau terdiam sejenak, kemudian sembari mengambil nafas lega (menurut saya sih :)), beliau mengatakan:”Iya bener juga, biar dia coba apa yang dia pikir bagus ya.” Hmmm…duhh mudah2an saya tidak salah omong… --------------------- Pembaca, ortu, bapak/ibu yang saya kasihi, saya mohon maaf apabila opini saya ini terlalu menggurui atau tidak pada tempatnya, saya hanya berharap bagi ortu2 yang mengalami perdebatan dengan anak2 seperti yang dialami salah satu peserta training saya di atas, bapak ibu bisa melihat dari perspective lain. Terakhir saya ingin mempersembahkan puisi yang indah sekali, yang ditulis oleh seorang penyair terkenal Kahlil Gibran.

Puisi Kahlil Gibran Tentang anak

Anakmu bukanlah milikmu,mereka adalah putra putri sang Hidup,yang rindu akan dirinya sendiri.

Mereka lahir lewat engkau,tetapi bukan dari engkau,mereka ada padamu, tetapi bukanlah milikmu.

Berikanlah mereka kasih sayangmu,namun jangan sodorkan pemikiranmu,sebab pada mereka ada alam pikiran tersendiri.

Patut kau berikan rumah bagi raganya,namun tidak bagi jiwanya,sebab jiwa mereka adalah penghuni rumah masa depan,yang tiada dapat kau kunjungi,sekalipun dalam mimpimu.

Engkau boleh berusaha menyerupai mereka,namun jangan membuat mereka menyerupaimu,sebab kehidupan tidak pernah berjalan mundur,ataupun tenggelam ke masa lampau.

Engkaulah busur, dan anak-anakmulah, anak panah yang meluncur.

Sang Pemanah maha tahu sasaran bidikan keabadian, Dia merentangkanmu dengan kuasaNya, hingga anak panah itu melesat jauh dan cepat.

Meliuklah dengan sukacita dalam rentangan tangan Sang pemanah, Sebab Dia mengasihi anak panah yang melesat laksana kilat, Sebagaimana dikasihi-Nya pula busur yang mantap

---ooOOOoo---

Salam,

GGO

http://www.gunturgozali.com

Baca juga, posting saya yang mungkin berguna:

Unconditional Love

Spend As You Need, Not As You Want

Espresso Dan Sikap Sok Tahu

Just Be Who You Are

Twitting and Facebooking, Why Should You?

Duhh…Kok Sampe Begituny Sih

Oh My GOD...

You Are Not Alone...

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun