Mohon tunggu...
Guntur Cahyono
Guntur Cahyono Mohon Tunggu... Dosen - Dosen

Belajar untuk menjadi baik. email : guntur_elfikri@yahoo.com

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Beragama Jelang Pemilu

17 Februari 2014   00:57 Diperbarui: 24 Juni 2015   01:46 111
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Ranah agama memiliki pemikat yang luar biasa dalam kisaran politik jelang pemilihan umum (pemilu) 2014 ini. Wilayah agama berpotensi menjadi kendaraan untuk meraup susara sebanyak-banyaknya. Kita masih ingat saat pemilihan gubernur di DKI Jakarta dimana pasangan Jokowi dan Ahok “diserang” para lawan politik berkenaan dengan agama Ahok selaku cawagub.

Apapun alasannya, agama berpotensi besar membangun opini publik tentang idealisme perjuangan politik. Selain itu agama telah menggiring masyarakat untuk membangun sebuah kekuatan politik aliran yang masif dan garang.

Nalar agama mampu membawa seseorang bertindak diluar logika kebanyakan orang. Munculnya terorisme adalah bagian dari pola nalar politik yang berbasis agama. Bisa jadi agama memiliki pembenaran akan tindakan yang dilakukannya.

Pada 6 Februari 1989 desa Talangsari, Kecamatan Way Jepara, Lampung Tengah telah terjadi tragedi. Segerombolan orang bersenjata panah beracun dan golok menyerang komandan militer dan pejabat pemerintah setempat. Mereka menamakan diri “Mujahidin fi Sabilillah” nama yang mengingatkan pada perlawanan perang sabil para petani, dengan cita-cita, organsasi, dan persenjataan sederhana ratusan tahun lalu.

Ini sedikit bukti sejarah agama membangun pola politik yang luar biasa terhadap sekelompok warga dari sekelompok pengajian yang ingin mengubah Pancasila dengan asas Islam.

Kebenaran faktual seperti apa yang diinginkan oleh sekelompok orang dalam proses politik tetap saja menjadi fakta yang abu-abu. Tak ada pendekatan yang mampu menguak kebenaran sesungguhnya manakala ideologi, agama dan bentuk keyakinan lain membangun sebuah pola politik bangsa.

Sejarah agama-agama di negeri ini menjadi hiasan politik yang mampu membangun segi emosional cukup dahsyat. Jadi jika agama terbawa pada ranah kendaraan politik bukan sebuah aqidah dan keyakinan maka bisa dipastikan politik perpecahan bangsa ini sangat terbuka lebar.

Bangsa ini berdiri membawa semangat persatuan. Konflik-konflik atas nama agama menjadikan bangsa ini paham betul dimana arah perjuangan sebenarnya.

Pergesekan agama sesungguhnya menjadi pemicu besar yang bisa dibawa kapanpun dan dimanapun, termasuk jelang pemilu 2014. Bagaimana para umat beragama membawakan dirinya untuk memposisikan agama saat pemilu.

Akan mudah kita jumpai para calon legislatif bahkan calon presiden berbondong-bondong sowan kepada kyai, ustadz, pondok pesantren, gereja-gereja serta tokoh agama lain. Dengan dalih meminta restu mereka sowan, yang sebetulnya membangun sebuah kawasan religius untuk mengumpulkan pundi-pundi suara.

Politik Fashion

Para caleg dan capres mendadak religius jelang pemilu. Menampilkan sosok beragama dengan jargon-jargon agama. Menuliskan beberapa pepatah agama maupun dalil-dalil yang diambil dari Al qur’an.

Agama menjadi bagian daya tarik yang dianggap mampu memberikan semangat pencerahan bagi para pemilih. Pemilih dalam kelompok agama pada akhirnya mudah dibawa untuk memilih tertentu atas nama agama atau komunitas beragama.

Belum lagi bagaimana para caleg menampilkan foto diri dengan berpeci, memakai baju koko, jilbab atau aksesoris agama lain tapi sesungguhnya mereka jauh dari ajaran agama dari tampilannya.

Kekuasaan politik telah mengalahkan sendi-sendi agama yang santun dan berdimensi ketuhanan. Agama hanya ditunjukkan di area dataran saja bukan sesuatu yang membumi dalam kehidupan sehari-hari.

Agama akhirnyapun tertipu dalam situasi yang memojokkan agama kewilayah bukan sebenarnya. Agama sebagai bagian dari keyakinan justru menjadi penghias untuk meraup suara.

Agama dianggap lebih marketable sebagai grand desain menggiring umat untuk menjatuhkan pilihan. Konsep agama seperti sedekah kepada fakir miskin, mengunjungi panti asuhan serta segala bentuk santunan dilakukan jauh dari kata ikhlas. Para “dermawan” menginginkan suaranya untuk memenangkan pemilu.

Seseorang caleg bergaya menjadi dermawan yang ada maunya. Inilah yang dimaksud politik fashion. Politik ada maunya atau yang kita kenal dengan politik dagang sapi. Saya memberi apa lalu saya akan mendapat apa.

Padahal prinsip agama mengajarkan kita keikhlasan dan ketulusan. Agama mengarahkan perbuatan manusia didasarkan kebenaran dari kitab suci serta menjadi ketulusan hati.

Partai yang berbasis agama memberi pembelajaran banyak tentang realitas politik sebenarnya. Apa sebenarnya yang mereka perjuangkan selama ini. Pembodohan dan pembohongan politik atas nama agama sudah menjadi wacana basi walau kadang juga masih laku.

Kode agama yang dibawa para caleg tak ubahnya seperti pakaian yang bisa gonta-ganti sesuai kebutuhan dan situasi. Wajah agama dan politik menjadi sisi yang diharapkan menjadi simbiosis mutualisme. Agama dibawa kearah yang bukan selayaknya dan bukan tempatnya.

Rakyat sebagai pemilih harus segera berbenah serta berfikir cerdas untuk memilih para wakilnya untuk menyambung aspirasinya untuk jangka waktu lima tahun mendatang. Jangan sampai rakyat dibohongi oleh tingkah laku politik abu-abu dan bermental kolonial seperti yang kita lihat sekarang.

Banyaknya kasus korupsi oleh para elite politik adalah bukti shahih betapa beberapa dari mereka sesungguhnya haus kekuasaan dan ingin memperkaya diri sendiri. Semangat perjuangan terhadap rakyat bukan sebuah tujuan namun hanya menjadi langkah untuk menguasi.

Agama, sekali lagi jangan menjadi alat pembohongan kepada rakyat khususnya menjelang pemilu 2014. Biarkan agama memerankan dirinya membimbing umat membangun karakter kebaikan dan menebarkan semangat perdamaian bukan permusuhan dan kekuasaan.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun