Ibu-ibu berumur kurang lebih 40 tahun tiba-tiba menangis karena pagi-pagi ditelpon putrinya yang sedang jauh dari desa kelahirannya untuk menuntut ilmu. Di sebrang sana sang putri bertutur kepada ibundanya jika sore ini karena hari sabtu akan pulang kerumah. Tetapi, ibundanya melarang untuk tidak pulang dulu karena senin nanti hampir dipastikan tidak bisa kembali kekampus karena tidak ada uang saku bagi buah hatinya untuk sekedar naik kendaraan umum untuk kembali ke kampus. Lalu bagaimana dengan makan dan kebutuhan sehari-hari putrinya jika tidak pulang meminta uang saku kerumah? Sulit dimengerti tetapi itulah yang terjadi.
Masih dalam kondisi yang tidak jauh beda, sebuah rumah kecil dan sempit tanpa penerangan yang memadai. Penghuni rumah ada sebanyak 4 orang sementara hanya ada 1 kamar tidur yang ditutup dengan tirai tanpa tempat tidur. Sementara dapurnya memakai kayu jika memasak bisa kebayang jika ibu itu masak, asap akan menyelimuti rumah kecil itu. Seorang ibu dengan penghasilan sebagai buruh kasar di seorang pembuat pati onggok kebayang berapa hasilnya  per hari. Lebih memprihatinkan lagi jika rumah kecil itu tidak dilengkapi MCK. Penghuni rumah melakukan antifitas MCK di WC umum dan sumur tetangga.
Inilah potret kemiskinan yang seminggu lalu aku temui. Melihat kondisi rumah yang jauh dari kata layak serta ekonomi dibawah garis kemiskinan. Jangankan untuk membiayai kuliah yang biayanya lumayan cukup banyak untuk makan sehari-haripun begitu susah. Bahkan di kasus lain saya temui ada mahasiswa yang rumahnya masih berlantai tana. Namun, yang membuat saya bahagia dari mereka adalah semangat untuk melanjutkan kuliah. Kondisi ini saya ketahui saat saya ditugaskan sebagai tim survey untuk seleksi Bidikmisi. Â
Kuliah bagi mereka butuh keberanian dan nekat karena uang tidak mereka miliki maka satu-satunya jalan adalah nekat entah bagaimana caranya. Ada sebagian mereka rela menjual sebagian warisan tanah, hutang kepada tetangga dengan resiko di omongin tetangga mau makan aja susah kok kuliah dan dapat bantuan dari sanak saudara dan seterusnya. Tentu saja mereka tidak perlu meminta-minta untuk menguliahkan anak-anaknya.
Satu sisi orang tua merasa tidak sanggup untuk membiayai kuliah tetapi disisi lain anaknya menganggap harus kuliah. Tetapi disisi lain semangat dimiliki antara orang tua dan anak dengan harapan jangan sampai kehidupannya akan sama terus menerus yaitu miskin. Jalan pendidikan dianggap menjadi langkah awal untuk mengubah nasib mereka suatu hari kelak.
Bagi saya hanya kesyukuran yang selalu saya panjatkan karena paling tidak saya bisa mengenyam pendidikan tidak susah-susah dari beasiswa. Tidak perlu seleksi walaupun entah seperti apa orang tua saya mendapatkan uang biaya kuliah. Karena saat itu hanya ada bea siswa super semar sementara yang mendapatkan itu hanya mahasiswa ber IP tinggi. Dan itupun hanya untuk 2 semester.
Harapan untuk selalu ada untuk hari ini tidak tahu bagaimana esok hari yang utama kuncinya kerja keras dan nekat. Banyak pula saya jumpai para mahasiswa yang secara ekonomi sebagai orang berada tetapi memutuskan tidak meminta uang dari orang tuanya bahkan juga tidak mendapatkan beasiswa. Mahasiswa harus bersusah payah bekerja paruh waktu dengan mengorbankan waktu bekerja disela-sela kesibukannya menyelesaikan tugas kuliah yang tidak sedikit tentunya. Bukan masalah kemiskinan tapi masalah tekat untuk berubah pada kebaikan. Kebetulan dia mahasiswa dan saya menjadi pembimbing akademiknya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H