Mohon tunggu...
Muhammad Guntur Cobobi
Muhammad Guntur Cobobi Mohon Tunggu... -

Adalah seorang mahasiswa di Universitas Khairun, Ternate, maluku utara.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Menyigi 2 Mei, Dengan Perbandingan Pendidikan Di Maluku Utara (Ucapan Selamat Hari Pendidikan bagi Mereka yang Belum Berpendidikan)

18 Juni 2011   02:38 Diperbarui: 26 Juni 2015   04:25 120
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

“pendidikan sebagai daya upaya untuk memajukan budi pekerti, pikiran serta jasmani anak, agar dapat memajukan kesempurnaan hidup yaitu hidup dan menghidupkan anak yang selaras dengan alam dan masyarakatnya.”

(Ki Hajar Dewantara)

Berpuluh tahun lalu “sang Bapak Pendidikan”, begitu beliau dijuluki kini, berjuang dalam memajukan dunia Pendidikan di Indonesia yang pada saat itu dalam ketertindasan penjajah belanda, perjuangan yang tak kenal lelah ini akhirnya membuahkan terukirnya sebuah sejarah Pendidikan untuk bangsa ini, perjuangan beliau tidaklah berhenti pada setelah merdekanya bangsa ini dari belenggu penjajahan, seorang yang sebelumnya bernama Soewardi Soeryaningrat ini paham betul bahwa pendidikan adalah motor penggerak bangsa yang tak boleh terhenti roda perputarannya baik dalam terselenggaranya mutu pendidikan yang mumpuni maupun terhadirkannya kemajuan pendidikan agar terciptanya kesetaraan kemampuan manusia bangsa ini dengan bangsa lainnya di dunia.

Sebagai catatan untuk mengkaji lebih jauh tentang perjuangan mantan Menteri Pendidikan Indonesia yang pertama ini tentulah tak terlepas dari kontribusi yang beliau berikan bagi termajukannya dunia Pendidikan di Indonesia, “ing ngarso sung tulodo, ing madyo mangun karso, tut wuri handayani”(di depan memberi teladan, di tengah membangun karya, di belakang memberi dorongan) ungkapan sangsekerta yang dijadikan motto pendidikan ini adalah refleksi dari pandngan beliau tentang pendidikan dan bagaimana seharusnya pendidikan itu diterapkan dalam keberlangsungannya. Pandangan beliau mengenai pendidikan ini merupakan wujud dari awal mula beliau mendirikan Perguruan Taman Siswa, awalnya tekad yang beliau miliki hanyalah agar bangsa Indonesia dapat setara dengan bangsa lain, juga karena kondisi rakyat Indonesia sudah sangat memprihatinkan didalam kungkungan dan terus terbodohi oleh belanda yang telah menjajah Indonesia berabad-abad lamanya, tak ada jalan lain, Pendiddikan adalah satu-satunya cara untuk memberikan kesederajatan pola pikir masyarakaat guna mengejar ketertinggalan bangsa Indonesia terhadap kemajuan zaman saat itu, mengacu pada hal ini, jelas terbaca bahwa Ki Hajar Dewantara adalah orang yang sangat tidak menyukai diskriminasi, dalam hal ini Diskriminasi pendidikan, ini diperkuat dengan salah satu tulisannya yang dimuat di Koran Ďouwess dekker De Express, bertajuk “Als Ik Eens Nederlander Was” yang artinya “seandainya aku seorang belanda”, isinya mengkritik pemerintah belanda yang menyelenggarakan pesta kemerdekaan di negerinya padahal mereka tidak sadari bahwa mereka adalah penjajah bagi sebuah bangsa, ini adalah sesuatu yang kontras menurut Ki hajar Dewantara. Lebih jauh dapat disimpulkan sekali lagi bahwa Ki hajar Dewantara adalah orang yang sangat membenci Diskriminasi, dan bahwa Pendidikan adalah hak sehingga penyamarataan adalah mutlak guna memberikan penyamarataan pola pikir, yang pada akhirnya akan menghasilkan kesejahteraan yang merata, bukan dalam kemampuan individu, tetapi juga kehidupan berbangsa dan bernegara. Besarnya kontribusi yang diberikan oleh Ki Hajar Dewantara adalah sesuatu yang patut dikenang bagi bangsa ini, tidak hanya terbatas pada peringatan yang tercantum didalam kalender Nasional setiap tahunnya yang mengenang hari lahir Beliau pada 2 Mei 1889, tetapi bagaimana seharusnya kita menyediakan pendidikan yang kualitasnya dapat terjamin bagi bangsa ini seluruhnya, agar supaya kita dapat melanjutkan cita-cita Ki Hajar Dewantara yang terhenti karena waktu.

Jauh hari setelah Ki Hajar Dewantara wafat, wajah pendidikan di Indonesia menemukan masa suramnya kembali, bahkan lebih buruk dari masa penjajahan, bangsa ini seakan terjajah oleh bangsa sendiri ketika munculnya sekat-sekat diskriminasi terhadap dunia pendidikan yang mengakibatkan sebagian warga Negara tidak pernah mencicipi pendidikan yang pantas, seperti yang dicicipi oleh sebagian warga Negara yang lain, padahal seluruh pelosok negeri telah mengetahui, tentang betapa besarnya Negara memberikan perhatian bagi dunia pendidikan dengan menganggarkan 20% dana dari APBN untuk kemajuan dunia pendidikan, tak terkecuali dalam hal pemerataan, miris sekali ketika kita menyaksikan masih banyak daerah di Indonesia yang dapat dikatakan belum mengecap dana yang 20% itu, entah apakah karena dana itu lenyap ketika tersalurkan, ataukah karena memang dana tersebut hanya dikhususkan untuk mereka yang berada di perkotaan sana. Jangan jauh-jauh kita mengambil contoh, lihatlah daerah kita sendiri, Maluku Utara yang kata orang di kota-kota besar sana sebagai the primitive area, tentang sebagian besar sekolah di provinsi ini yang lebih pantas disebut “kandang kambing” dengan guru-gurunya yang tak lebih hanya sebagai “penggembalanya”.

Keadaan yang serba terbatas dan cenderung dipaksakan ini menggambarkan betapa terbelakangnya kita dalam perbandingan, yang dikata orang sebagai “sama-rata”. Keadaan ini terus memburuk, ditambah lagi dengan adanya Ujian Nasional yang pada saat ini masih sedang mengemuka, apakah dengan keterbelakangan ini kita dapat menarik diri untuk datang ke lokasi ujian yang kesemuanya yang ada disana identik dengan “sesuatu yang elit” yang hanya telah dipelajari oleh orang-orang di perkotaan, sementara itu kita menjalaninya dengan situasi yang dibawah sederhana, kekurangan soal, tekanan mental, dan kecil diri terhadap soal-soal yang hanya dapat dijawab oleh siswa-siswi di perkotaan, jika demikian adanya pemikiran yang lebih elementer dari kita maka kita akan berpikiran bahwa Ujian Nasional adalah tindakan “Arogan” yang coba ditunjukkan pemerintah, khususnya bagi daerah yang terbelakang, demi untuk memperlihatkan sejauh mana kemampuan orang-orang di kota, tanpa peduli kemampuan mereka yang berada di pelosok bangsa ini, realita ini jika ditinjau secara historis dengan memunculkan Ki Hajar Dewantara sebagai bapak pendidikan bagi bangsa ini, dan dengan berbagai pertimbangan lainnya maka secara kasar dapat dikatakan bahwa Hari Pendidikan Nasional hanyalah milik mereka yang telah mengecap hasil jerih payah sang bapak Pendidikan.***

Muhammad Guntur Cobobi

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun